Tiga bulan setelah kepergian ayah, semua mulai terasa berat. Bahkan tubuhku sendiri serasa tak mampu lagi untuk kubawa kesana-kemari. Orang-orang mulai pergi dan menjauhi, sekadar menemani untuk menguatkan sudah tak ada lagi.

Satu bulan setelah ayah dijemput oleh Sang Pencipta, mereka semua masih bersikap baik-baik saja padaku.

Kemudian dua bulan berlalu, sikap orang-orang terdekat mulai aneh. Tiap kali aku datang mencurahkan segala yang kurasa, terlihat jelas bagaimana mereka mengabaikanku. Aku paham, mereka bersikap seperti itu karena takut jika sewaktu-waktu aku meminta bantuan. Haha, konyol. Saat ibu meninggal dulu aku sudah pernah bersumpah untuk akan melalui semuanya sendiri tanpa membebankan siapa pun dalam segala urusanku.

Tiga bulan pun terlewati, aku merasakan pemain sinetron bermunculan dalam hidupku. Ya, ibu tiri dan tiga saudara tiri perempuanku. Tidak, tidak. Hanya dua, dua saudara tiri. Karena satu di antara mereka sudah meninggal tiga hari lalu, warga sekitar menemukannya di sebuah semak belukar dengan kedua mata yang sudah tak ada lagi pada tempatnya.

"Jane, kamar mandi belum dibersihkan. Dan kau malah bersantai bersama anjing kecil sialanmu itu?"

"Akan kubersihkan setelah Moly selesai makan, Bu."

Guk ... guk ... guk ... guk...!

Pekik sakit suara Moly, seekor anjing kecil milikku, satu-satunya yang menemani kekosonganku saat ibu tiri tak tahu diri itu menarik tali cantik yang sengaja kupasang di lehernya agar tak lepas saat kubawa berjalan-jalan.

"Aku tidak suka seseorang yang menunda pekerjaan hanya demi binatang!" Oh, rupanya wanita tua ini murka.

"B-baik," ujarku dengan intonasi serendah mungkin. Kemudian beranjak mengangkat kaki dari teras rumah untuk menuju ke kamar mandi.

Masih pagi buta, membuka pintu kamar sudah disambut dengan keributan di ruang tamu. Aku sedikit mendekat, melihat mayat saudara tiri perempuanku tergeletak dengan kepala yang terpisah dari tubuhnya. Banyak polisi yang datang. Ibu meraung, menangis histeris dan ditenangkan oleh satu putrinya yang masih hidup. Putrinya juga terisak bukan main. Oh, astaga. Mengejutkan, padahal kemarin aku masih melihat putri kedua dari wanita pilihan ayah yang salah itu mencekik leher Moly dengan kuat hingga Moly terkapar. Untung tak meninggal, tapi Moly sangat kesakitan.

Setiap kali aku mencoba menghentikan perbuatannya--Valena, nama saudara tiriku itu--maka semakin kuat ia mencekik Moly. Untuk saat ini, aku memilih masuk kembali dalam kamar dan menghilangkan rasa peduli pada semuanya.

"DENGAR! DENGARKAN! SIAPA PUN YANG TELAH BERBUAT KEJI PADA PUTRI-PUTRIKU, AKU TIDAK AKAN MENGAMPUNIMU, TIDAK AKAN!"

Muncul seringai pada wajahku mendengar teriakan nya. Ya Tuhan, dia sudah seperti orang gila.

Ceklek...!

Tiba-tiba pintu kamarku terbuka, ibu masuk begitu saja dengan kedua netra yang saat ini warnanya sama dengan wajahnya--merah diikuti oleh beberapa orang di belakangnya. Termasuk para polisi.

"KAU! PASTI KAU, KAN?"

Aku tak mengerti apa maksudnya menghampiriku dengan raut wajah yang benar-benar nampak tengah marah besar dan membentak-bentakku bersama jari telunjuk yang ia arahkan tepat pada wajahku.

Dahiku berkerut hingga kedua alis bertaut. "Aku?" tanyaku menunjuk sendiri diriku.

"IYA! KAU YANG MEMBUNUH PUTRIKU, KAN? ADA PERLAKUAN MEREKA YANG TAK KAU SUKA KEMUDIAN KAU SAKIT HATI LALU KAU MEMBUNUH MEREKA. BENAR?" Ibu yang bicara, aku yang lelah mendengarnya. Seperti rem blong, semua ia hantam lurus. Bertubi-tubi ia melemparkan segala tukasnya padaku, aku hanya menganga seraya menggelengkan kepala.

"Bu--"

"POLISI! KENAPA KALIAN DIAM SAJA? TANGKAP PEMBUNUH INI!"

Hendak berucap yang sejujurnya tetapi dengan sigap ibu menyela.

"Maaf, kami tidak bisa membawanya begitu saja jika tidak ada bukti yang cukup," ujar seorang polisi berkumis tebal membuat ibu semakin emosi hingga hampir saja menyerangku dengan botol parfum berbahan kaca yang ia genggam dan sebelumnya ia dapat dari meja yang tak jauh dari kasurku. Beruntung, Selena--putri bungsunya--beserta beberapa polisi itu menahannya dan membawanya keluar secara paksa dari kamarku.

Tap ... Tap ... Tap....

Suara langkah kali terdengar hati-hati berjalan di belakangku, setiap kali diriku menoleh tidak ada siapa pun. 

Jarum panjang jam yang berada di dapur menunjuk pada angka satu. Ya, pukul satu dini hari. Aku ke dapur untuk mengambil minum, meski baru saja ada kejadian mengerikan yang menimpa dua orang yang tinggal di rumah ini, aku tak merasa takut sedikit pun. Tapi entah mengapa, suara langkah kaki itu membuat degup jantungku membabi buta tak karuan.

Pyarrr!

"Selena?"

Gelas yang ada di genggam tanganku merosot begitu saja, betapa kagetnya saat tiba-tiba Selena berdiri di ambang pintu dapur dan mengunci pintu itu dengan kedua netra yang menatap lebih tajam dari biasa. Lebih terkejut saat melihat tangan kanannya mencengkram sebuah obeng panjang yang ujungnya terlihat begitu runcing, perasaanku mendadak tidak enak.

"Kau bangun begitu pagi, Jane. Suara air yang dituangkan dalam gelas yang pecah itu mengganggu waktu tidurku," ucapnya lembut tetapi membuat berdiri seluruh bulu kuduk di tubuh.

Selena berjalan mendekat. Sialan! Rasa takut ini membuat tubuhku kaku.

"Selena, kau--"

"Ssstt, Jane. Kecilkan suaramu," senyumnya mengerikan, bola mata coklat itu--aku melihat iblis di dalamnya.

"Jane, kau tahu? Aku sudah menganggapmu seperti saudara kandungku sendiri," Selena memelukku tanpa kusangka-sangka. Perasaanku sedikit lega hingga aku lupa masih ada obeng di tangan kanannya.

"Jadi, Jane. Aku ingin memperlakukanmu seperti bagaimana aku memperlakukan mereka."

"AAAAAGGGHHHHHH" teriakku bukan main ketika merasakan ada sesuatu yang panjang masuk ke dalam pinggang belakang tembus pada perut depanku. Seketika lemas saat Selena melepas pelukannya, aku tersungkur menahan rasa sakit.

"Sel--Selena, k--kau ... AAAGGGHHH!" Bajingan! Aku seperti akan mati saat ia menarik obeng itu dari tubuhku kemudian menancapkannya lagi, hal itu ia ulangi berkali-kali di bagian tubuh yang lain. Aku mengerang kesakitan namun tak dipedulikan, sampai akhirnya napasku tersekat karena tak tahan. Dada begitu sesak, mulutku hanya bisa menganga. Air mata tumpah ruah bersama darah segar yang keluar dari tubuh ini. 

"Ulu uluuuu. Kau bertanya mengapa aku melakukan ini, ya? Entahlah, Jane. Aku begitu suka membunuh manusia."

Hanya suara yang bisa kudengar, melihat hanya samar-samar. Aku merasa degup jantung yang berderu hebat tadi kini mulai melemah. Tolong! Sesuatu masuk dari mulut menembus tenggorokanku. Tubuhku menggelinjang bergetar seperti seekor domba yang disembelih lehernya, Selena menyiksaku dengan amat parah. Pandanganku menggelap, mendengar sudah tak bisa. Tapi aku merasakan seperti ada kawat berduri yang masuk menarik semua isi dalam perutku, tak bisa di utarakan seperti apa rasanya. Aku merasakan detik-detik berhentinya detak jantungku sendiri, dan aku tak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya.

"Tuhan, bantu aku membalas kekejiannya."
-Jane Willz, dalam kedamaian 1991.

***

JANE WILLZ

Penulis: Coldayy

Artworker: SnowOnFire_