Aku menemukanmu!

Setidaknya begitulah isi sebuah pesan dari salah satu akun instagram tidak jelas itu kepadaku. Waktu pengiriman pesan itu pun tertulis satu jam yang lalu, tepat pukul 01.01 dini hari di daerahku. Aku termasuk orang yang jarang menerima pesan dari direct massage lewat Instagram, karena temanku di media sosial pun hanya beberapa saja. Lebih memilih aplikasi chatting jika memang harus menghubungi karena ada keadaan genting.

Sebelum membuka pesan tersebut, tentu saja aku membuka profilnya terlebih dahulu. Jaga-jaga jika dia salah satu temanku yang kebetulan aku melupa namanya. Tapi nihil. Akun itu terlihat belum mengirim apapun. Di profilnya pun kosong. Tak ada keterangan apapun. Begitu juga dengan foto, ia lebih memilih menampakkan punggung yang membelakangi kamera. Apa dia pikir aku bisa menerka siapakah dia hanya dengan melihat punggungnya saja? Sungguh gila! Apa dia tidak punya otak barang secuil saja?

Setelah mengecek akunnya, aku pun tersadar untuk kembali mengecek akunku sendiri. Barangkali aku pernah mengunggah gambar atau caption yang kurang enak di hati. Tapi sungguh, aku hanya pernah mengirim satu foto seumur hidupku. Itu pun hanya foto sepatu yang kuunggah dua tahun yang lalu. Aku pun tak pernah membuat insta-stories atau apapun yang bisa terarsip di tampilan profilku. Tidak. Aku tidak melakukan itu. Jadi, apa yang salah dari akunku? Atau mungkin dia benar-benar orang yang mengenaliku? Oh ayolah, aku tak terbiasa menghadapi orang yang bertele-tele seperti ini.

Aku pun akhirnya memilih untuk tidur dan berharap orang itu tak kembali mengirimi pesan yang membuatku memikirkannya lagi.

***

Paginya, aku melakukan kegiatan seperti minggu pagi biasa. Hanya bermalas-malasan di atas ranjang sambil memutar beberapa playlist agar suasana sekitar kosku terlihat hidup, tak terlalu hening. Mengingat anak kos yang lain sibuk pulang kampung karena memang sudah memasuki libur panjang universitas. Aku pun sebenarnya ingin pulang kampung juga, namun ada beberapa kepentingan dengan organisasi yang harus segera kuselesaikan. Tentu saja itu yang membuatku bertahan.

Terjebak dalam ketidaktahuan akan melakukan apa di minggu pagi, aku pun memutuskan untuk kembali mengecek akun instagramku. Mataku begitu tercengang melihat tumpukan pesan yang entah ada berapa puluh memenuhi layar notifikasiku. Ternyata semalam ia spam kepadaku. Bagaimana ini? Aku bingung harus menjawab apa.

Riana

Aku tau kau masih hidup

Aku tau kau tinggal sendirian di kota X

Kau melupakanku?

Semudah itu?

Jangan harap

Tunggulah aku

Malam ini aku akan menjemputmu!

Deratan pesan tersebut diulang beberapa kali hingga membuatku jengah. Oh ayolah. Ia terlihat seperti stalker. Aku bahkan tak memahami apa yang ia maksud. Masih hidup? Tentu saja aku masih hidup! Dia pikir aku pernah menantang maut? Melupakannya? Aku bahkan tak tau siapa dalang di balik akun itu. Sungguh aku ingin sekali saja membalas pesan itu, tapi jemariku kaku. Aku bahkan tak berani melepas kunci dari gagang pintuku. Aku tak berani keluar rumah mengingat ia yang bilang sudah tau di mana aku! Aku tak pernah mengalami ketakutan seperti ini, aku takut ia benar-benar mengikutiku!

Sampai ponselku bergetar menandakan ada panggilan masuk. Tanpa melihat siapa yang memanggil, aku secara refleks langsung mengangkatnya.

"Halo?"

Aku terdiam mendengar suara pria di seberang sana. Suaranya berat, lebih tua dariku sepertinya. Tapi otakku seakan tak bisa bekerja. Bahkan untuk menyahuti sapaannya pun tak bisa. Aku masih memikirkan siapa yang sedang aku ajak bicara.

"You still there, baby?"

Meski aku tak mengetahui bagaimana ekspresinya saat ini, tapi aku merasa ia menyunggingkan senyum remeh setelah menyerukan kata baby.

Tanpa banyak berkomentar lagi, aku menutup sambungannya sepihak. Aku merasa tak enak. Siapa sih dia?

***

Malamnya, aku mencoba bersikap tenang. Bahkan tadi siang aku sempat ke toko depan untuk membeli bahan untuk makan malam. Ya, setelah telepon berakhir, ia berhenti mengirimi pesan sialan itu. Aku sedikit tersenyum menang karena kupikir ia berhenti mengganguku yang tak merespons apapun. Akan tetapi semua berubah sejak listrik tiba-tiba padam. Aku memberanikan diri mengecek dari jendela, apakah rumah sekitar kos juga padam? Ternyata iya. Bukan kamarku saja. Aku sedikit lega. Tapi setengah jam berselang, tak ada tanda-tanda akan menyala. Aku pun hanya mengandalkan senter dan ponselku saja. Tepat setelah aku mengarahkan senter ke arah jendela.

Brak! Pyar!

Tampak jelas di pengelihatanku bagaimana hancurnya jendela kamarku. Anehnya aku kaku! Tak bisa berteriak!

Pria yang menyusup lewat jendela itu tak menggunakan pelindung diri sebagai penyamaran apa pun. Dia terlihat santai!

Dengan tangan yang bergetar, aku berjalan mundur sembari mengarahkan senter tepat ke arah matanya. Berharap pengelihatannya sedikit terganggu dan berhenti melangkah. Tapi sial, ia malah menyeringai dan memperlebar langkah. Hingga tanpa sadar punggungku telah bertemu dengan tembok. Mataku berair entah sedari kapan, tapi aku tak bisa menggambarkan betapa takutnya aku malam ini.

Terlebih setelah melihat kilauan pisau yang ia keluarkan dari balik sakunya. Melihat dari tajamnya, aku membayangkan jariku bisa saja putus dengan sekali sayatan.

"Kau menungguku, baby?"

"Kau gila! Keluar!"

"Bagaimana bisa? Aku merindukanmu, sangat."

Dari samar cahaya rembulan, aku sedikit bisa membayangkan wajahnya. Dia....

"Apa aku sudah tak spesial lagi di hidupmu? Kau meninggalkanku, baby."

Dia mengucapkan kata demi kata seolah ialah yang paling tersakiti di sini. Dia Brian, kakak tingkatku yang di-drop out dari semester lalu karena percobaan pembunuhan, dan dia mantanku!

"Padahal aku masih menyayangimu, bagaimana bisa kau pergi begitu saja, baby?" tangan kekarnya mulai berani menyentuh leherku. Menekankan tiap kuku di permukaan kulitku. Aku semakin tercekat saat ia mencoba mengangkatku dengan sebelah tangannya dengan mengeratkan tangannya di leherku.

"Bree, le–pas!"

Dia sedikit mengendurkan tangannya saat aku memanggilnya Bree, panggilannya dariku saat kita berhubungan dulu.

Namun tak lama setelah itu, tangan besarnya menampar pipi kananku hingga sedikit berdarah karena terbentur dengan pinggiran meja belajarku.

"Kau semakin cantik, aku membenci semua pria yang memujimu," ucapnya sambil menjalankan pisau dari telinga kiriku menuju pipi kananku.

Teriakanku tertahan oleh telapak tangannya yang mencengkeram mulutku. Bibirku terasa kelu, mungkin sudah membiru karena kurasakan gertakan tangannya begitu kuat, ia nyaris saja mematahkan rahangku!

"Aku penasaran, apa mantanku masih bisa hidup bahagia?"

Setelah puas mengoyak mukaku, ia membanting tubuhku ke lantai. Mengapa ia tak langsung menghunus jantungku saja? Aku mati rasa dibuatnya!

"Aku tak suka mantanku hidup bahagia di saat aku sengsara. Ingat itu, baby."

***

MEET YOU AGAIN

Penulis: Nadykeyr

Artworker: Penaabu