Tak ... tak ... tak ... cletak...!
"Huaaa! Akhirnya beres juga!" Aku mendongakkan kepala sambil meregangkan otot-otot kaku akibat lama tertunduk seperti tadi.
Kuedarkan pandang dan mendapati sekeliling sudah gelap. Jelas gelap, aku terlarut dengan beberapa berkas sehingga tanpa sadar mengambil jatah lembur seorang diri.
Aku merupakan pekerja baru di salah satu perusahaan besar di kota Bandung ini. Sebagai anak baru tentu aku masih semangat melakukan hal itu dan ini sampai rela begini lembur padahal belum genap 3 bulan. Bayangkan saat hari pertama masuk saja sudah disambut dengan hangat, bagaimana tidak betah, coba.
Tok ... tok ... tok...!
Suara ketukan di pintu lantas membuatku kembali menengadah. "Dek, masih betah?" tanya security dengan kumis baplang itu padaku.
"Sudah selesai kok, Pak," ringisku sambil menggaruk tengkuk tidak gatal. "Maaf ya, Pak, karena saya Bapak jadi bulak-balik ngecek ruangan sini," lanjutku sambil membereskan berkas dan mematikan komputer.
"Ah tidak apa-apa, beberapa ruangan lain juga belum Bapak kunci, duluan ya." Aku melambaikan tangan tanda mempersilakan, beliau akhirnya meninggalkan aku beserta lampu senter di tangannya.
"Anjir! Malu banget dah sampe disusulin begitu," gerutuku sambil sesekali menoleh ke arah pintu. Dirasa meja sudah rapih, aku bergegas meninggalkan kantor namun langkahku terhenti tepat di samping ruangan devisi illustrator.
Aku melihat ada seorang gadis di dalam sana sedang duduk, makanya aku mulai memperhatikannya dari balik dinding kaca.Mengernyit aku dibuat gadis itu. Dia hanya duduk saja dengan muka sedikit tertunduk. Penasaran dengan mukanya aku berinisiatif menggeser tempatku berdiri.
"Loh dia, kan cewek yang ngga pernah ngomong itu bukan, sih? Kok masih di kantor?" Aku lantas menengok jam tanganku.
Pukul 10 malam, desisku, dengan kepercayaan diri yang tinggi aku pun memberanikan diri untuk mulai menyapa.
"Hei, udah jam 10 nih. Tidak pulang?" Kupasang senyum lebar ketika ia menyadari aku ada di sini. Bukannya menjawab gadis itu malah tetap menatapku dalam diam. "Sabar ya, Rivaldy, tuh cewek ansos itu! Ansos!"
Tidak ingin dicap sombong aku pun berujar kembali. "Udah malem, mau bareng?" ajakku. Tanpa bermaksud tertentu ya!
Jujur aku berharap gadis itu merespons, setidaknya untuk satu kalimatku atau apa lah.
Swinggg ... brakkk...!
Mataku melebar ketika sebuah buku terbang ke samping kiriku. Anjir! Respon apaan ini?!Sekali, aku maklumi. Dua kali, tiga ... sampai seterusnya aku mulai menemukan ujung kesabaranku. "Hei! kamu kenapa sih?" Dominasi pertanyaanku dinadai emosi.
Bukannya berpikir atau paling tidak memiliki secercah rasa bersalah, gadis itu sekarang malah mengangkat sebuah pulpen di tangan kanannya.
Merasa diri dalam bahaya melihat ia berjalan ke arahku, dengan cepat aku melarikan diri. Sayang, kakiku malah membawaku ketempat yang tidak menguntungkan.
"Anjir! Kok ke ruang rapat, sih!" dengusku merutuki kebodohan ini.
Tap ... tap ... tap...!
"Rivaldy ... ketemu!"
Hatiku mencelos mendengar bisikan tadi. Sekali balikan, aku dapat menemukan dia dengan pulpen teracung di tangan kanannya.
Langkah yang asalnya pelan, mendadak berlari cepat ke hadapanku. "Mati sana!"
Keringat sudah menetes, lutut juga bergetar hebat akibat tangan yang sekarang sedang bersusah payah kutahan tepat di depan mataku.
"Kamu apa-apaan sih? Aku ada salah sama kamu? Atau kamu tidak suka aku ajak bicara?" Seberusaha mungkin aku masih menanyai ia baik-baik, lalu mengenyahkan pikiran gila untuk menendang tepat di perutnya demi bertahan hidup.
Bukannya menjawab, gadis itu malah menarik kedua ujung bibirnya membentuk seringai, hingga akhirnya gadis itu tertawa mengerikan.
"Rivaldy ... ketemu!"
"Anjir! Lo napa deh!" teriakku sambil berusaha menghempas kedua tangan kurusnya. Sepersekian detik ia terhuyung, dan aku gunakan kesempatan itu untuk melesat kabur.
"Rivaldy ... sembunyi! Khihihihi...."
Lagi-lagi kebodohku kumat. Aku malah bersembunyi di ruang devisi illustrator. "Ih bodoh! Rival bodoh! Ruangan ini 'kan kaca semua." Hatiku kian gelisah ketika melihat sepasang kaki melintas di luar kaca ruangan ini.
Tap ... tap ... tap...!
Suara hils itu bagai memutari ruangan ini perlahan makin dekat, dekat, lalu ... menjauh?Asik selam—
"Rivaldy ... booo!"
"Aghhhhh!" Aku menendang muka gadis itu karena saking kagetnya. Suara gedebuk bahkan terdengar nyaring di ruangan ini. Aku kira gadis itu akan pingsan, salah. Gadis itu tertawa lagi.
Aku yang masih sulit mencerna kejadian ini di buat makin terkejut ketika gadis itu merangkak dengan cepat ke arah aku.
Pulpen itu masih di tangannya, tujuan gadis itu tetap mengarah pada wajahku. Padahal napasku sudah hampir habis dan tanganku sudah tidak kuat menahan tenaganya, dengan mata berkaca-kaca aku mulai membayangkan akhir hidupku. Terlebih ketika seringai mengerikan lagi-lagi hadir di wajahnya.
"Rivaldy ... bye!"
Jlebbb...!
"Aghhhhhhh!"
***
Sudah 3 hari berlalu sejak insiden seorang gadis bunuh diri di hadapanku dengan cara menusuk-nusuk kedua matanya dan berakhir menusuk tenggorokannya sampe bolong tepat di depanku. Namanya Kayla Apriani––ia 'lah si ansos, ia juga si gadis yang jarang bicara pada rekan sekantor bahkan dengan partner sedevisinya juga ia tidak pernah berbicara.
Menurut kabar yang kuterima dari Gustian, Kayla itu iri padaku yang bisa langsung care dengan berbagai orang terutama dengan beberapa atasan. Wajar bukan jika devisi marketing itu memiliki sifat fleksibel? Tapi entahlah.
Pengalaman ini membuatku sedikit trauma terhadap seorang gadis, terutama mereka yang sering menyungging bibirnya.
***
SMIRK
Penulis: Penaabu
Artworker: SnowOnFire_