"Kak Yudha nggak makan dulu?" Aku hendak memasukkan nasi dengan garam ke mulutku, namun saat melihat Kak Yudha tidak merespon pertanyaanku dan langsung berjalan keluar rumah dengan seragam SMA lusuhnya, aku tidak jadi makan.
"Kak, ini masih ada tempe buat Kakak. Aku bisa makan sama garam," kataku lirih. Tetapi Kak Yudha hanya menoleh sebentar, kemudian berangkat sekolah.
Aku mengamati sebuah tempe yang sengaja kuberikan pada Kak Yudha dengan sedih. Ia selalu seperti itu. Mengabaikanku sejak ayah dan ibu meninggal kecelakaan. Akhirnya kami berdua hidup sebatang kara, di sebuah kampung kumuh kota Sorong, Papua. Aku masih bersyukur kami berdua bisa melanjutkan sekolah.
Aku tidak memiliki siapa pun kecuali Kak Yudha, tetapi Kak Yudha seperti tidak menyayangiku. Bahkan kami berdua jarang sekali mengobrol, lebih tepatnya aku yang mengajaknya bicara namun diabaikan. Ia akan langsung pergi tidur begitu pulang sekolah malam hari. Plus, bekerja.
Aku tidak ingat aku pernah melakukan kesalahan apa pada Kak Yudha, tetapi aku sangat menyayanginya walaupun dia membenciku.
•••
Hari ini aku berangkat sekolah dengan sepatu tak layak pakai yang kami temukan terlantar di pinggir jalan dan seragam lusuh. Aku tidak memiliki tas, hanya membawa plastik hitam yang tak jarang robek di jalan. Tetapi tak apa, setidaknya aku masih bisa membawanya.
Sesampai di kelas, kami belajar tentang cita-cita. Banyak teman-temanku yang ingin menjadi presiden, dokter, guru, atau polisi. Tetapi kemudian mereka menatapku aneh saat aku bercerita tentang cita-citaku. Aku hanya membalas dengan senyuman. Akhirnya Bu Guru memberi kami tugas rumah untuk menggambar cita-cita kami, kemudian ditanda-tangani oleh orang tua.
Malam ini hujan. Rumah kami bocor di mana-mana, tetapi berhasil kutampung di ember. Selagi menunggu Kak Yudha pulang, dengan giat aku menggambar sebaik mungkin di kamarku. Aku ingin Kakak melihatnya. Dia pasti senang. Yah, kuharap aku tak diabaikan lagi.
•••
Jam menunjukkan pukul delapan malam. Kak Yudha pulang dengan basah kuyup. Aku segera menghampirinya sambil membawa handuk.
"Kakak nggak papa?" tanyaku khawatir saat Kak Yudha bersin-bersin. "Kita masih ada obat flu, tinggal setengah sendok. Kakak minum ya."
Kak Yudha hanya menggeleng, kemudian masuk ke kamarnya. Kakak pasti capek dan ingin langsung tidur, ditambah badannya yang sakit. Aku tak mungkin meminta tanda-tangannya sekarang, tetapi tugas itu dikumpulkan besok.
"Ini." Kak Yudha tiba-tiba keluar sambil membawa beberapa lembar uang. "Buat bayar SPP. Cepet dibayar, udah nunggak tiga bulan."
Aku menolak. "Nggak papa, Kak. Bu Guru baik, kok. Mending buat bayar SPP Kakak."
"Jangan sembarangan! Udah bayar!" Intonasi Kak Yudha sedikit meninggi.
Akhirnya terpaksa aku menerima uang itu dengan takut-takut. "A-aku bisa berhenti sekolah, terus bantu Kakak kerja. Uangnya bisa dipakai untuk makan dan SPP Kakak dulu."
"Jangan sembarangan!" Kali ini dia membentakku. "Kamu cukup duduk, makan, dan belajar yang bener! Masalah uang biar urusan Kakak!" Kemudian dia mengeluarkan sebungkus ote-ote isi dua. "Nih, buat lauknya. Kakak makan tempe yang tadi pagi aja."
Kami berdua makan dengan hening. Sebenarnya aku ingin membagi ote-ote itu dengan Kakak, tetapi aku takut Kakak akan marah. Akhirnya aku hanya bisa berdoa agar Kakak sehat selalu walaupun makanannya jauh dari kata sehat.
Selesai makan, Kak Yudha masuk ke kamarnya. Mata dan hidungnya merah. Kakak sakit. Saat kuintip, dia terbaring lemah di kasurnya. Inisiatif aku masuk dan mengompres dahinya. Seketika Kakak bangun dan terkejut.
"Kalau nggak dikompres, Kakak nanti sakit," kataku, lalu memijat kepalanya.
"Makasih," balasnya.
"Aku bisa minta tolong ibu tetangga untuk buatin teh hangat, kata teman-teman, teh hangat bisa menyembuhkan penyakit."
Kakak menggeleng. "Nggak usah ngerepotin orang!"
Aku menunduk takut-takut.
Kembali hening. Kak Yudha menatap arah lain, sedangkan aku memikirkan kata-kata.
"Kak, boleh minta tanda-tangan buat tugas? Tapi kalau Kakak capek, nggak usah, nggak papa," kataku takut-takut.
"Mana?" tanyanya.
Segera aku mengambil hasil gambarku dan kuserahkan pada Kakak. Cita-citaku adalah...
Aku ingin Kak Yudha menyayangiku.
Aku mulai takut saat Kak Yudha terdiam lama. Tapi kemudian, ia meneteskan sebutir air mata. Kakak langsung memelukku erat hingga aku kesusahan napas. Aku membalas pelukan Kakak tak kalah erat, karena hal inilah yang aku inginkan sejak dulu. Kakak memelukku dengan tulus.
"Kakak nggak benci kamu, Apit. Kakak sayang sekali sama kamu. Buat apa Kakak bela-belain putus sekolah dan kerja demi memenuhi semua kebutuhanmu kalau Kakak nggak sayang?"
Aku terkejut. Kakak putus sekolah?!
"Kakak kenapa bohong?! Kakak bilang Kakak sekolah sambil kerja!" Aku menangis. "Tau gitu, aku juga putus sekolah dan bantu Kakak kerja!"
"Itulah masalahnya," kata Kak Yudha mengusap air mataku. "Kalau kamu tahu Kakak nggak sekolah demi kamu, kamu pasti ngotot ikut putus sekolah. Kakak nggak mau kamu jadi orang yang gagal. Kakak pengin lihat kamu sukses dan mendapat semua yang kamu inginkan dengan mudah. Sudah cukup kita hidup seperti ini, yang penting masa depanmu berhasil. Nggak papa, Apit. Kakak ikhlas berjuang untuk kamu, demi masa depanmu yang cerah."
"Tapi, Kak—"
"Udah, jangan nangis." Kakak memelukku. "Buktikan pada Kakak kalau perjuangan Kakak untuk kamu nggak sia-sia. Maafin Kakak karena sudah bohong dan membuat Apit mikir Kakak benci kamu. Kakak cuma kelewat lelah saja sampai mengabaikan Apit."
Aku kembali menangis dalam pelukan Kakak. Saat itu, aku baru sadar. Kakak tidak pernah membenciku. Kakak berjuang demi diriku, karena Kakak sangat menyayangiku.
Terima kasih, Kak. Apit sayang Kakak.
•••
WISHES
penulis: SnowOnFire_
artworker: cochobear23