Semua kekacauan ini berawal dari Rendy yang datang membawa aplikasi terkutuk itu kepada kami.

===

Damn it. Gue target selanjutnya, guys.”

Rendy menatap wajah kami dengan ekspresi datar. Dia menyodorkan ponselnya dan memperlihatkan isi pesan singkat yang muncul di sana.

RUN OR HIDE?

I’m gonna be in a deep shit.” Rendy tertawa kecil. “See? Semua yang kita lakuin gagal, coy, gagal! Akhirnya gue juga akan mati dibunuh!”

Bima mendecak sebal. “Ya jangan kegirangan lantaran mau dibunuh gitu, dong! Ada harga diri dikit, kek.”

Aku mengusap kasar wajahku dan menenggelamkannya di atas meja.

Sejak kematian sahabatku, Rani dan Leo, beberapa minggu yang lalu, aku menjadi kacau. Tidur tak nyenyak, ke mana-mana merasa tak aman, hari-hari terasa seperti di neraka, dan jika berada dalam kegelapan aku jadi paranoid.

Semua ini tak akan terjadi jika Rendy keparat itu tak mengusulkan kami untuk bermain aplikasi yang sedang trending, yaitu Run or Hide.

Awalnya kukira ini hanyalah aplikasi buatan orang-orang cupu untuk mengusili orang-orang cupu lainnya, tapi ternyata Rani dan Leo sudah menjadi korban dari aplikasi ini.

Dan mereka semua mati.

Rasanya aku tak bisa lagi menganggap remeh aplikasi ini. Aplikasi ini benar-benar terkutuk!

Begitu pula dengan Rendy. Rasanya aku ingin loncat ke depan hidungnya sambil berteriak, “MAMPUS LO MATI SELANJUTNYA! SALAH SIAPA SURUH KAMI MAIN INI!”

Tapi yang benar saja! Memangnya aku setega apa sampai harus jingkrak-jingkrak melihat teman sendiri akan mati?

Oke, kembali ke topik!

Karena kematian tak wajar dari Rani dan Leo, Bima sempat menyewa seorang hacker andalan dari sekolah kami, SMA Harmony International Surabaya, yang tentunya sangat mahal sampai harus merogoh kocek dalam-dalam.

Kevin Ferdiansyah.

Aku masih ingat jelas bagaimana si hacker itu mengata-ngatai kami dengan fasih sampai kurasa semua air liurnya sudah terkuras habis mengenai  wajah kami.

“Gue nggak tau yang goblok itu sebenernya aplikasi ini atau lo semua!” semprot Kevin. “Udah jelas aplikasi ini cuma 5 mb dan lo semua berharap aplikasi ini pembunuhnya? Wah, malu gue satu sekolahan sama lo semua!”

Sebelum Kevin pergi dengan membawa uang kami, dia sempat menoleh dan berbisik, “Pelajaran untuk amatir, jangan percaya sama orang terdekatmu.”

Sejak saat itu, aku, Bima, dan Rendy, mulai uring-uringan. Kami kehilangan banyak uang dan tak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Malah kami disuruh untuk menginvestigasinya sendiri.

Hingga malam ini.

Rendy akhirnya terbunuh dengan seluruh tubuhnya menggantung di langit-langit kamarnya. Mulutnya menganga lebar dengan sisa air mata yang sudah mengering di pipinya.

Aku hanya bisa menangis keras dan Bima langsung memelukku.

“Sori, Len. Gue harusnya terus berusaha keras buat tangkap pelakunya atau setidaknya gue nginep di sini sama Rendy. Sori, Len, sori.”

Aku menggeleng lemah. “Jangan salahin diri lo. Lo udah berusaha keras dan semalam lo ada rapat OSIS. Kita doain aja Rendy tenang di sana.”

Bima mengusap pelan rambutku sampai membuat perasaanku tenang kembali.

Ternyata ketenangan yang kudapat tak bertahan sampai lima menit. Sebuah pesan singkat masuk ke ponselku dan kembali mengingatkanku akan permainan maut yang belum selesai.

Shit, shit, shit!” Aku membanting ponselku frustrasi hingga retak layarnya ke lantai.

Bima mendadak panik. “Kenapa, Len? Lo dapet pesannya?!”

Tanpa perlu kujawab, Bima paham dengan sendirinya. “Sialan! Kalo gitu, mau nggak mau, gue bakal temenin lo seterusnya! Lo nggak boleh sendiri!”

“Bim, gue nggak mau mati. Tolongin gue … gue nggak siap, keluarga gue gimana, cita-cita gue gimana, impian gue gimana?” Aku menangis lagi untuk kesekian kalinya. “Parahnya lagi, gue masih jomblo. Tega banget biarin gue mati bawa titel jomblo!”

Sialan! Kenapa aku masih bisa bercanda di saat-saat begini?

Bima menggeleng tegas. “Lo nggak akan mati! Percaya sama gue!”

Sesaat, aku terpaku atas perkataan Bima yang sepertinya benar-benar mampu menjamin keselamatan hidupku. Entah rasanya melegakan atau justru menakutkan.

Sesuai janjinya, Bima terus mengikutiku ke mana saja bagaikan seorang putri dan pengawalnya.

Dia bercerita banyak mengenai masa lalunya, masa depannya, impiannya, bahkan tipe cewek favoritnya. Bima mampu membuatku lupa akan segala ketakutanku dan pesan teror itu.

Tak kusadari aku telah melewatkan tiga hariku dengan menyenangkan.

Hingga akhirnya kami memasuki hari keempat. Di mana semuanya mulai terjadi kembali.

Saat itu, Bima ulang tahun. Dia mengundangku untuk merayakannya berdua saja di rumahnya.

Sebagai satu-satunya sahabat yang tersisa, mana mungkin aku menolak? Jadinya aku datang dengan pakaian yang cantik dan hadiah mahal di tanganku. Jam tangan GC.

“Buat gue? Beneran?” Bima membulatkan matanya lebar-lebar.

“Iya, buruan pake, sebelum berkarat!”

Tanpa ba-bi-bu lagi, jam tangan GC itu sudah melingkar keren di tangan Bima. Modelnya pas dan Bima jadi terlihat makin menarik.

Thanks ya, Len, padahal lo nggak usah repot-repot,” kata Bima sambil tersenyum.

“Segini doang mah nggak repot,” tawaku.

Bima mengangguk dan mulai memotong kuenya. “Tadi ortu gue yang kirim kue ini ke rumah, tapi mereka lagi-lagi sibuk di kantor.”

Ah, aku lupa cerita satu hal. Orang tua Bima gila kerja. Sejak dulu sampai sekarang aku tak pernah bertemu orang tuanya. Bahkan saat pembagian rapor, itu pun saudara Bima yang bantu ambil. Bima benar-benar kesepian.

“Gih, dimakan.”

“Oke.”

Kesalahan pertamaku adalah memasukkan sesendok kue lezat itu ke dalam mulutku.

“Lo inget Veni?”

Mendengar nama itu, aku langsung terpaku.

“Iya, cewek yang bunuh diri akibat rusak mental,” lanjut Bima datar.

Aku mulai menatap Bima takut-takut.

“Rusak mental akibat lo, Rani, Leo, dan Rendy bully dia saat MOS!” Raut muka Bima mendadak berubah menjadi sosok asing yang tak pernah kulihat sebelumnya, sosok yang sangat mengerikan. “FYI, dia adek kesayangan gue….”

Kesalahan keduaku adalah aku terlalu percaya Bima hingga melupakan kemungkinan kecil bahwa dia bisa jadi pelaku utama pembunuhan ini.

“Bim…?” Suaraku parau, air mataku mengepul dan siap jatuh. Tangan kananku masih setia memegang sendok kue, sedangkan tangan kiriku berusaha meraih ponsel di dalam tasku.

Bima tersenyum miring. “Run or hide?”

Tangan kiriku berhasil meraih ponselku dan saat itulah pesan dari Kevin si hacker muncul di layarnya.

Pelakunya BIMA!

Terlambat.

Detik selanjutnya, jantungku berdegup kencang, perutku sakit, dan kerongkonganku panas serasa dibakar. Aku merintih kesakitan dan busa putih itu keluar deras dari mulutku. Aku menatap Bima harap-harap dia mau menolongku untuk yang terakhir kalinya.

Tapi, Bima justru menyunggingkan senyuman lebar.

“Selamat tidur, Milen.”


THE END

Penulis: Aisy Permata
Artworker: Nadykeyr