Kesalahan fatal pada eksperimen membuat dimensi paralel terganggu. Akibatnya, makhluk-makhluk purba yang seharusnya tidak ada malah hampir menghancurkan dunia.

==========

 

Suara ledakan terdengar begitu nyaring di telingaku. Buru-buru aku melihat ke jendela. Terlihat jelas kepulan asap muncul dari sebuah gedung yang hampir hancur. Mataku membeliak saat mengenali gedung itu.

"Telah terjadi ledakan besar dalam gedung pusat penelitian. Saat ini, para polisi dan pemadam kebakaran sedang mencoba mengevakuasi para ilmuwan. Di duga ledakan ini terjadi karena kegagalan dalam eksperimen baru."

Kakiku lemas saat mendengar berita dari televisi. Aku benar-benar merasa sesak. Tanpa pikir panjang, aku bergegas menuju gedung itu.

Aku terus berlari menuju gedung itu. Aku terus berharap bahwa kedua orangtuaku baik-baik saja. Mau bagaimanapun mereka ikut terlibat dalam eksperimen kali ini.

Aku sudah sampai di depan gedung pusat penelitian dengan napas terengah-engah. Mataku mulai menjelajah mencari keberadaan orangtuaku. Namun, tidak ada! Aku hanya melihat Bibi Mira yang sedang diangkut oleh tenaga medis menuju mobil ambulans. Dengan cepat aku berlari mendekatinya.

"Bibi Mira! Apa yang terjadi? Di mana Ibu?!" tanyaku menggebu-gebu.

Bibi Mira menatapku dengan tatapan sedih. Dia tidak menjawabku! Aku mengalihkan tatapan dan mencoba bertanya lagi pada Paman Sam.

"Di mana Ayah?" tanyaku sambil berharap Paman Sam akan memberitahuku.

"Di mana kedua orangtuaku?!" Teriaku frustrasi.

Paman Sam menggeleng lemah. "Olive... mereka menghilang."

Aku menutup mulutku tak percaya. Apa maksudnya menghilang?! Mataku mulai memanas, aku sudah tak kuasa menahan isak tangisku. Paman Sam mendekat lalu memelukku erat. Dia mencoba menenangkanku.

"Olivia... sebelum orangtuamu menghilang, mereka menitipkan liontin ini untukmu. Katanya, ini akan sangat berguna untukmu," ucap Bibi Mira sambil menyodorkan sebuah liontin berwarna perak.

Aku menerimanya sambil terus menangis. Bibi Mira yang masih terbaring lemah pun memelukku.

"Maafkan aku tidak bisa melindungi orangtuamu, Olive," ucap Bibi Mira sambil ikut menangis.

Setelah mengobrol dengan Bibi Mira dan Paman Sam, aku kembali bergegas pulang dengan perasaan yang kacau. Namun, suasana semakin keruh saat seseorang di sebrang sana berteriak sambil menunjuk ke sebelah barat dengan ketakutan. Aku mencoba menoleh dan aku pun tertegun. Aku menatap makhluk raksasa itu tak percaya!

Bagaimana bisa makhluk purba ada di sini?!

Aku mundur perlahan saat mendengar auman dari makhluk itu. Itu t-rex!

T-rex itu hilang kendali, dia mulai menghancurkan kota dan mengejar masyarakat. Belum sempat t-rex dibasmi, muncul makhluk purba lain. Setiap sepuluh menit sekali mereka bertambah banyak dengan jenis yang beragam pula.

Suara sirine pun mulai bergema di seluruh penjuru negeri. Mengisyaratkan para masyarakat untuk segera masuk ke dalam benteng pelindung raksasa.

Aku juga ikut bergegas ke sana. Namun naas, kakiku terhimpit oleh bangunan beton yang nyaris menimpa seluruh tubuhku.

Salah satu makhluk raksasa itu mulai mendekatiku. Setahuku itu komodo, tapi ukurannya sepuluh kali lipat dari komodo biasa.

Aku tak bisa bergerak sama sekali. Aku sudah mulai pasrah akan diterkam oleh komodo itu.

Namun, seseorang membantu memgeluarkanku dari himpitan beton ini. Dia menggendongku sambil berlari cepat. Bukannya lari ke arah benteng pelindung, dia malah berlari ke arah sebaliknya.

"Hey apa yang kaulakukan? Kita akan ke mana?" tanyaku heran.

Mataku kembali membeliak saat melihat t-rex dan komodo berlari mengejar kami. Dua makhluk itu tak segan-segan menginjak seluruh benda yang dilewatinya hingga tak berbentuk.

Semakin cepat kami berlari, semakin cepat pula mereka mengejar. Mereka terus mengaum kelaparan. Kami pun mencoba bersembunyi di balik sebuah bangunan. Suara ledakan pun kembali terdengar berkali-kali diikuti suara auman yang begitu memilukan. Aku menghela napas sejenak. Mencoba menetralkan kembali perasaanku.

"Terima ka—" ucapku tertahan saat menatap orang yang menolongku.

"Kau!" teriakku tertahan. Aku ternganga tak percaya saat melihat manusia prasejarah secara langsung. Dia, benar-benar seperti dalam buku sejarah!

Aku tak menyangka, jika manusia purba juga ikut datang ke sini. Seingatku, dia termasuk manusia purba jenis Pithecanthropuserectus.

"Tidak perlu kaget seperti itu."

Dia bisa bicara?!

"Aku dimintai datang kemari oleh kedua orangtuamu, Olive."

Ha? Bagaimana bisa dia tahu namaku?!

"Kau siapa?!" tanyaku masih terperangah.

Dia pun tersenyum sambil memamerkan deretan giginya. Aku meneguk ludahku sejenak. Mencoba agar tidak terlihat tegang.

"Panggil saja aku Pithe. Orangtuamu yang memberikan nama itu untukku," ujarnya.

"Sudah tidak ada waktu lagi, ayo gunakan liontinmu itu dan segera perbaiki semuanya. Aku tidak nyaman berada di masa depan seperti ini," ujarnya lagi.

Setelah diberitahu bagaimana cara menggunakan liontin ini, kami pun tiba di masa lalu sekitar sehari sebelum terjadi kekacauan ini. Kami memasuki gedung pusat penelitian pada malam hari. Sengaja, agar tidak ada yang melarang kami masuk.

"Ayah! Ibu!" teriakku terharu saat bisa melihat mereka kembali.

Mereka terperanjat saat aku tiba-tiba datang dan memeluk mereka.

"Ada apa Olive? Tidak biasanya kema—PITHE!!!" teriak mereka serentak sambil memandangi Pithe.

"Bagaimana bisa kauada di sini?!"

Pithe mulai menceritakan apa yang terjadi. Aku juga ikut menceritakan apa yang terjadi sambil menangis. Orangtuaku mulai mengerti dan merenung. Mereka berpikir, mungkin memang tidak seharusnya mereka menuruti untuk melakukan eksperimen ini.

"Baiklah... kita hentikan eksperimen ini sebelum besok mulai terjadi ledakan. Olive berikan liontinmu itu," ucap Ayah.

Ayah mulai membuka liontion dan menarik kunci kecil di dalamnya. Ayah menaruh kunci itu di lubang portal dimensi yang tidak akan jadi beroperasi. Dalam satu putaran portal itu pun berhenti.

"Terima kasih Pithe sudah membawa Olive ke mari. Terima kasih juga Olive sudah mau ikut dan percaya pada Pithe," ucap Ibu sambil memelukku.

"Nah, saatnya kita antar Pithe pulang. Tidak usah khawatir, keadaan akan kembali normal. Para makhluk purba pun sudah kembali masuk ke dimensi asalnya," ujar ayah memberi penjelasan.

Aku mengangguk mengerti.

Hingga tiba saatnya kami berpisah dengan Pithe. Orangtuaku berjanji tidak akan melakukan timetravel lagi jika tidak ada hal darurat. Pithe juga menyetujui hal itu. Katanya, ini juga demi keberlangsungan sejarah. Kita tidak boleh sembarangan ikut campur pada dimensi paralel lagi.

Ibu juga memberikan sebuah cairan bening pada Pithe. Pithe pun meminumnya. Cairan itu semata-mata untuk melupakan apa yang telah ia lihat selama di dimensi kami.

Kami pun kembali ke dimensi asal. Di mana kekacauan sempat terjadi. Kami tersenyum senang saat melihat keadaan sudah kembali normal. Keadaan di mana satu jam sebelum kekacauan terjadi. Tidak ada lagi makhluk purba yang tiba-tiba datang ke dimensi ini lagi.

Kami juga ikut meminum cairan bening seperti Pithe. Agar bisa melupakan kejadian tadi dan kembali hidup normal.


TAMAT


Penulis: Rahmalia_kh243

Artworker: Cometria