Apa kau sadar? Sedikit demi sedikit kau menghancurkan titik percayaku dengan tinta tipumu. Bila kau mengira diamku selama ini berarti memaafkanmu, maka bersiaplah untuk menghadapi marahku, yaitu membiarkanmu dalam keterpurukanmu.
“Apa kau bilang? Dia melarikan diri?”
“Benar,
maaf, seharusnya aku dapat mencegahnya.” Lelaki di hadapannya kini pun hanya
bisa menghela napas perlahan. Mulai menyandarkan punggung kokohnya di sandaran
kursi yang terbuat dari kayu jati itu. Ia tampak memejamkan mata dan
melonggarkan dasi yang masih terikat di lehernya. Ini bukan yang kali pertama
memang. Kejadian seperti ini sudah sering menimpanya, sudah terlalu sering
malah. Tapi kali ini berbeda, kenapa harus dia lagi?
“Coba
kau selidiki lagi, ke mana dia akan pergi kali ini.”
“Menurut
saya, wanita itu pergi ke tempat terpencil, pulau pribadi misalnya. Mungkin
juga dia sedang berkeliling ke luar negeri. Saya yakin dia bisa melakukan
apa pun dengan sejumlah nominal yang ia bawa.” Lelaki di hadapannya itu
menganggukkan kepala, menyetujui ucapan bawahannya. Tapi sedikit akalnya
menyangkal, apakah wanita itu benar-benar mampu melakukannya?
Lelaki
itu pun memutuskan untuk mencari wanita itu seorang diri, tanpa dikawal oleh
dua orang yang biasanya selalu mengekor lima meter di belakangnya. Dia bergegas
menuju lantai bawah tanah, tempat mobilnya berada. Dia memakai lift untuk
mempercepat langkah lebarnya. Sesekali ia melihat arloji yang ada di
pergelangan tangan kirinya. Dia baru sadar jika saat ini tepat tengah malam,
dan ia sendirian. Kawasan ini pun tampak lenggang, hanya ada beberapa mobil
yang tersisa. Mungkin mobil para pegawai yang mendapatkan sif malam, pikirnya.
Sesegera mungkin ia mengabaikan hal itu.
Saat
ia tepat berada di hadapan mobil mewahnya, ia sadar untuk mencari kunci mobilnya.
Ia merogoh saku celana dan jas kerjanya, namun nihil, ia tak menemukan apa pun
di sana. Dia pun membuka tas yang sedari tadi ia bawa. Matanya membulat
sempurna ketika menemukan gulungan kertas kecil yang membungkus kunci mobilnya.
Apa kau mencariku?
N-
Sesaat setelah membuka gulungan itu, ia meremas kertas itu dan segera membuka pintu mobilnya. Ia duduk di balik kemudi, menumpukan kepalanya di lipatan sikunya, sejenak melepas penat yang akhir-akhir ini selalu ia hadapi. Tentu saja ini semua bukan hal mudah karena dia bertanggung jawab penuh akan kasus ini.
“Ada
apa denganmu sebenarnya? Aku tak pernah mengerti jalan pikiranmu,” ucapnya
lemah. Ia pun menegakkan duduknya serta melempar tasnya ke bagian kursi
penumpang.
Tak
ingin terlalu lama berdiam diri, ia pun memutuskan untuk melajukan mobilnya
dengan terburu-buru. Setelah ia benar-benar keluar dari halaman kantornya, ia
sedikit bingung memikirkan ke mana ia akan melajukan mobilnya. Namun ia
tiba-tiba menginjak remnya karena ada wanita yang berhenti di hadapannya,
beruntung tak sempat tertabrak olehnya. Hal itu membuatnya keluar dari mobil
dan menghampiri wanita itu.
“Namira?”
Wanita
itu mengangkat kepalanya dan langsung membalas tatapan lelaki di hadapannya.
“Kau?”
Wanita
yang selama ini ia kenal sebagai sekertaris pribadinya itu tampak berbeda. Ia
tak lagi memakai kacamata tebalnya. Matanya pun terlihat berwarna coklat
keemasan, bukan hitam pekat seperti biasanya, ia juga telah menghapus bekas
riasan paginya. Bahkan kini terlihatada bekas luka di pipi kirinya serta bekas
jahitan di dahinya.
“Ya,
aku Namira, sekertaris kepercayaanmu,” Namira tampak menyeringai sambil merogoh
saku jaketnya. Karena merasa tidak enak, lelaki itu mundur perlahan.
“Sekertaris
kepercayaan? Setelah membuang lima miliarku dalam semalam, kau masih mengakui
dirimu sebagai kepercayaan? Yang benar saja, apa kau tak mempunyai urat malu?”
“Kau
masih mengungkit lima miliarmu itu? Hahaha, kau lucu sekali. Malu? Bukankah seharusnya
kau malu terhadap dirimu sendiri?”
“Omong
kosong apa kali ini yang hendak kau sampaikan padaku?”
Wanita
itu mengikis jarak, ia sudah berada tepat di hadapan lelaki itu. Tak lupa pisau
yang sudah ia todongkan ke ceruk lehernya. Ia menancapkan ujung pisau itu
dan menggoreskan perlahan. Tentu saja hal itu membuat lelaki di hadapannya
meringis kesakitan. Lelaki itu hendak melawan, namun pisau adalah kelemahannya.
Ia trauma dengan benda tajam.
“Terima
kasih kau masih mengingatku sebagai Namira, bukan Sinta.”
“Sinta?”
Setelah mendengar nama itu, sontak saja Namira semakin dalam menggoreskan
pisaunya, dan lelaki itu hanya bisa memejamkan matanya serta menahan diri untuk
menjerit kesakitan.
“Aku
bisa saja membunuhmu, tapi percayalah, itu terlalu mudah bagiku.” Namira terdiam
cukup lama, hingga membuatnya teringat kejadian beberapa tahun yang lalu.
===
Tiga tahun silam....
Septian dan keluarganya mulai memasuki kediaman Sinta, calon istrinya. Hari ini merupakan hari bahagia mereka berdua. Bagaimana tidak? Hubungan yang selama ini selalu mendapat hambatan, akhirnya berujung ke pelaminan juga. Septian yang terlihat gagah dengan setelan putihnya tentu sedang memikirkan bagaimana riasan Sinta hari ini. Hingga dering ponselnya mulai membuyarkan lamunannya. Ia membuka ponselnya yang mendapatkan pesan yang ia ketahui ternyata dari pihak intelegen kantornya.
Pak Roy, OB kantormu, yang tak lain adalah calon mertuamu
ditetapkan sebagai tersangka. Mungkin itu sebabnya ia langsung menerima
lamaranmu pada puterinya. Kau harus hati-hati, Tian!
Hal
itu tentu saja membuat Septa bingung. Ia cemas, di sisi lain ia memikirkan
keadaan kantornya yang sempat menjadi sorotan publik akhir-akhir ini. Tanpa
sadar, semua tamu undangan pun berkumpul. Saat acara resepsi akan dimulai, Septian yang
merasa ada kejanggalan dalam pernikahannya ini segera berdiri sambil mengangkat
tangan kanannya.
“Maaf,
namun aku tidak bersedia melanjutkan pernikahan ini. Aku tak mau menjadi
menantu seorang koruptor.”
===
“Dan
kau bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya? Ayah berkendara dalam kondisi
mabuk sampai ia tewas seketika, begitu pula ibuku yang tak menerima kepergian
ayah dan ia menjadi gila. Kau tak akan paham! Betapa hancurnya keluargaku
setelah ucapan omong kosong yang keluar dari mulutmu itu! Dan kau ingin menuntutku
karena lima miliarmu itu?”
Septian
diam, ia mulai menatap Sinta lagi.
“Lalu
maumu apa, Sinta? Aku bersumpah bukan aku yang menyebarkan berita itu! Kau tahu
sendiri saat itu citra perusahaanku benar-benar hancur karena pimpinan
sebelumnya, ditambah kasus ayahmu? Memuakkan!”
“Dan
kau tak mempedulikanku? Kau egois! Itulah mengapa banyak orang yang memutuskan
untuk menjadi mata-mata di kantormu! Kau dan perusahaanmu itu tak pantas
mendapatkan hal-hal baik barang sekali pun, Tian!”
Sinta
menampar pipi Septian dengan pisau di tangannya. Ia membenci Septian, seseorang
yang mungkin pernah memberikan kesan terbaik sekaligus terburuk dalam hidupnya.
Sedangkan Septian tengah memegangi pipinya yang mulai banjir darah.
“Bereskan
masalah ini atau kau akan berakhir di pemakaman esok hari!”
Septian
benar-benar kesakitan dan menutup mata. Namun setelah itu....
DORRRR!!!
“Pengkhianat tidak akan berteriak pengkhianat, dan kesalahan tetaplah kesalahan di mataku. Begitupun dirimu dan keluargamu, Namira.”
PROFIL PENULIS
Nadykeyr, si Libra yang gemar bermain warna serta bercerita. Ikuti akun instagram serta wattpadnya (@nadykeyr) untuk kisah lainnya.
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~