"Tutup matamu,
lupakan tentang dunia yang saat ini kamu tinggali, masuklah dalam dunia yang
akan keluar dari mulutku," ucapku dengan membenarkan kemeja putih yang
selalu aku pakai.
"Aku nggak akan
melakukannya!" Cila tiba-tiba meninggikan intonasi suaranya, membuatku
menyeringai. Cila lalu mendecih pelan, "Baiklah. Aku akan duduk di
sini."
Aku tersenyum menang,
manusia memang sebenarnya penakut. Mungkin hanya ada beberapa yang pura-pura
berani, walaupun akhirnya takut juga. "Tutup matamu, lupakan tentang dunia
yang saat ini kamu tinggali. Masuklah dalam dunia yang akan keluar dari
mulutku. Lupakan bahwa kamu manusia biasa. Karena kamu cuma menjadi waktu,
waktu yang menonton manusia biasa melaluinya. Dalam hitungan satu, dua,
tiga—"
***
"M-maaf! Nggak
sengaja! I-itu nggak sengaja," cicit Swita dengan menundukkan kepalanya.
"Hah? Oke."
Lelaki yang tadi tidak sengaja ditabrak oleh Swita melaluinya begitu saja.
Swita merutuki dirinya
lagi yang tak sengaja menabrak lelaki bertubuh jakung yang memegang ponsel itu.
Ia membasahi bibir bawahnya berulang kali.
Ia tetap berjalan
menuju kelas dengan lorong sekolah yang sudah cukup ramai.
"Sejauh ini,
sudah tujuh kali," ujar Swita pada dirinya sendiri.
***
"Semuanya,
kumpulkan tugas minggu lalu," ujar guru itu dengan suara lantang. Membuat
suara bising yang diciptakan teman-teman Swita langsung lenyap begitu saja.
Swita mencari buku
tugas yang ia cari, namun nihil. Semua bagian tasnya sudah digeledah, tapi tak
ada tanda-tanda buku yang berisi tugas itu ada di dalamnya.
"Sa-saya ...
sepertinya nggak bawa, Bu." Swita menundukkan kepalanya. Kakinya
gemetaran. Takut dan kalut menyelimuti jiwanya.
Guru itu memandanginya
beberapa detik, sampai akhirnya mengeluarkan satu kalimat yang membuat Swita
akan semakin dibenci teman-temannya. "Saya beri kamu waktu sepuluh menit
untuk mengerjakan."
Swita memandangi
teman-temannya yang menatap aneh padanya. Tentu, ia pun akan melakukan hal yang
sama ketika jadi temannya. Ini tidak adil. Hanya karena ia cukup pintar, itu
tidak harus membuatnya menjadi murid kesayangan.
"Yang kedelapan,
lupa membawa tugas. Yang kesembilan, semakin dibenci teman. Benar-benar
sial!" bisik Swita pada dirinya sendiri lagi.
***
Bel pulang sekolah
sudah berbunyi. Swita berjalan ke arah mobil penjemputnya. Langsung masuk dan
menutup pintu mobil dengan keras, hingga membuat sopir kaget.
"Ma-maaf,
Pak."
"Ah, nggak
apa," kata sopir Swita dengan senyum yang masih merekah. Entah tulus atau
sekadar menahan emosi pada majikan.
Swita menunduk lagi.
"Kesepuluh," bisiknya pada diri sendiri.
***
Cermin yang ada di
kamar Swita akan menjadi saksi satu-satunya tentang kekeliruan dirinya,
menurutnya.
Ia mengambil silet
kecil yang selalu ia simpan di belakang cermin.
Satu sayat, dua sayat,
tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Darah mengalir dari
sayatan-sayatan yang dibuat Swita di lengan atasnya. Ia tak akan bodoh
melakukannya di pergelangan tangan.
Hatinya tenang
seketika, ada rasa tenang dan tak takut lagi ketika tetesan darah itu keluar
semakin bercucuran.
"Yang terakhir,
kesebelas. Untuk kebahagiaan." Sayatan terakhir tetap dilakukan Swita. Ia
menggigit bibit bawahnya karena rasa nyeri tetap keluar begitu darah juga
mengalir. Namun jiwanya tenang melihat darah itu. Itu membuatnya keluar dari
rasa bersalah.
***
"STOP!"
teriak Cila dengan tiba-tiba, matanya terbuka langsung. Napasnya tak beraturan,
dadanya naik turun, keringat bercucuran.
Aku cuma menaikkan
satu alis sebagai jawaban.
"Siapa?! Siapa
Swita?! Kenapa? Kan Anda dokter, seharusnya tidak memberitahuku ini!" Cila
menjauhkan dirinya beberapa meter dariku.
Aku tersenyum sinis.
"Itu sudah beberapa tahun lalu, Cila. Sekarang aku adalah makhluk bebas.
Sumpah dokter hanya untuk manusia. Aku bukan."
Mata Cila masih
menyipit ke arahku. Aku yakin ia masih menyimpan satu pertanyaan besar.
"Ya! Dia tetangga di ujung gang."
Cila langsung berlari
begitu saja dari tempatnya duduk. Ah, manusia seperti Cila terlalu bersimpati
dan manusiawi.
"Permisi!"
Cila berteriak di depan rumah Swita.
Kebetulan sekali,
Swita membukakan pintu. "Ya?"
Cila meraih tangan
kanan Swita, menarik kaus kuning yang digunakannya hingga menunjukkan luka-luka
sayat yang belum mengering.
"Kak, aku nggak
butuh rasa simpati itu." Swita menarik tangannya. Ini semakin seru, sejak
mati dan tidak lagi menjadi manusia, entah kenapa aku suka keributan.
"Apa?! Kenapa?
Itu bukan cara terbaik, Swita!" Cila dengan raut muka marahnya. "Ada
banyak jiwa yang ingin hidup. Kamu pikir ini benar?"
Swita tak menjawab. Ia
cuma masuk ke dalam rumah dan menutup pintu kencang-kencang. Drama yang luar
biasa.
Cila yang sudah duduk
lagi di kamarnya menatapku aneh, setelah pulang dari rumah Swita dan hingga
larut malam ia masih menatapku.
"Dok, Anda dulu
psikiater, bukan? Anda pernah bercerita tentang itu." Akhirnya Cila
membuka suara.
Aku mengangguk dua
kali. "Tenang. Santai. Nggak usah pakai 'Anda' juga nggak apa."
"Kata 'Anda'
menunjukkan kita tidak akrab. Saya selalu melakukannya pada yang bukan manusia.
Kita tetap punya batas."
Aku tersenyum singkat.
Menarik. "Swita pengidap enosimania kondisi seseorang
yang selalu menganggap dirinya melakukan kesalahan besar. Dia takut kritikan,
itu sebabnya kamu ditolak begitu saja. Selain itu, dia pengidap self-injury atau
menyakiti diri sendiri secara sengaja. Menurutku dia melakukannya untuk merasa
menebus kesalahan kecil yang menurutnya salah fatal. Tapi dari yang aku amati beberapa
hari ini, dia juga mengidap mood swing. Karena kadang, ia bukan
lagi menyakiti diri sendiri untuk menebus kesalahan, tapi seperti sayatan
kesebelas, dia melakukannya buat merasa senang aja. Itu seperti lingkaran
setan, keadaannya dia merasa bersalah namun menemukan kesenangan di
dalamnya."
Aku berdecih.
"Swita mengalami guilty pleasure, salah namun senang. Itu
lingkaran setan."
Cila memejamkan
matanya hingga satu menit tercipta lagi keheningan. Sampai ia mengeluarkan
kalimat. "Bukankah yang Anda lakukan juga guilty pleasure?"
Cila menarik napas sejenak. "Jika yang dilakukan Swita adalah kesalahan
yang menyenangkan, bukankah yang Anda lakukan juga? Bertahun-tahun di dunia
manusia untuk menikmati lalu-lalang manusia."
Aku sedikit kaget
dengan pernyataan yang dilontarkan Cila. Gadis berumur enam belas tahun ini
lumayan juga pemikirannya. "Cila, benar dan salah itu tergantung sudut
pandang. Tergantung bagaimana kita menanggapinya. Kamu benar ketika berusaha
mengatakan tindakanku salah, tapi jika membuat senang adalah kesalahan, lalu
apakah kesedihan yang benar juga akan baik? Juga akan tepat?"
Cila mengeluarkan
wajah datarnya. "Namun yang salah, tetap harus kembali ke jalan yang
benar."
Aku tersenyum sinis.
"Selamat jalan. Semoga hidupmu tenang."
Sebelum benar-benar
pergi dari kamar bernuansa klasik itu, aku mendengar Cila mendesis,
"Setan."
THE END
Penulis: CnareswaraArtworker:
Cochobear23
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~