Akan aku ceritakan tentang manusia penuh salah. Manusia penyuka salah, namun menurutku salah hanya soal sudut pandang. Sampai seseorang membuatku berpikir ulang tentang itu.

===

"Tutup matamu, lupakan tentang dunia yang saat ini kamu tinggali, masuklah dalam dunia yang akan keluar dari mulutku," ucapku dengan membenarkan kemeja putih yang selalu aku pakai.

"Aku nggak akan melakukannya!" Cila tiba-tiba meninggikan intonasi suaranya, membuatku menyeringai. Cila lalu mendecih pelan, "Baiklah. Aku akan duduk di sini."

Aku tersenyum menang, manusia memang sebenarnya penakut. Mungkin hanya ada beberapa yang pura-pura berani, walaupun akhirnya takut juga. "Tutup matamu, lupakan tentang dunia yang saat ini kamu tinggali. Masuklah dalam dunia yang akan keluar dari mulutku. Lupakan bahwa kamu manusia biasa. Karena kamu cuma menjadi waktu, waktu yang menonton manusia biasa melaluinya. Dalam hitungan satu, dua, tiga—"

***

"M-maaf! Nggak sengaja! I-itu nggak sengaja," cicit Swita dengan menundukkan kepalanya.

"Hah? Oke." Lelaki yang tadi tidak sengaja ditabrak oleh Swita melaluinya begitu saja.

Swita merutuki dirinya lagi yang tak sengaja menabrak lelaki bertubuh jakung yang memegang ponsel itu. Ia membasahi bibir bawahnya berulang kali.

Ia tetap berjalan menuju kelas dengan lorong sekolah yang sudah cukup ramai.

"Sejauh ini, sudah tujuh kali," ujar Swita pada dirinya sendiri.

***

"Semuanya, kumpulkan tugas minggu lalu," ujar guru itu dengan suara lantang. Membuat suara bising yang diciptakan teman-teman Swita langsung lenyap begitu saja.

Swita mencari buku tugas yang ia cari, namun nihil. Semua bagian tasnya sudah digeledah, tapi tak ada tanda-tanda buku yang berisi tugas itu ada di dalamnya.

"Sa-saya ... sepertinya nggak bawa, Bu." Swita menundukkan kepalanya. Kakinya gemetaran. Takut dan kalut menyelimuti jiwanya.

Guru itu memandanginya beberapa detik, sampai akhirnya mengeluarkan satu kalimat yang membuat Swita akan semakin dibenci teman-temannya. "Saya beri kamu waktu sepuluh menit untuk mengerjakan."

Swita memandangi teman-temannya yang menatap aneh padanya. Tentu, ia pun akan melakukan hal yang sama ketika jadi temannya. Ini tidak adil. Hanya karena ia cukup pintar, itu tidak harus membuatnya menjadi murid kesayangan.

"Yang kedelapan, lupa membawa tugas. Yang kesembilan, semakin dibenci teman. Benar-benar sial!" bisik Swita pada dirinya sendiri lagi.

***

Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Swita berjalan ke arah mobil penjemputnya. Langsung masuk dan menutup pintu mobil dengan keras, hingga membuat sopir kaget.

"Ma-maaf, Pak."

"Ah, nggak apa," kata sopir Swita dengan senyum yang masih merekah. Entah tulus atau sekadar menahan emosi pada majikan.

Swita menunduk lagi. "Kesepuluh," bisiknya pada diri sendiri.

***

Cermin yang ada di kamar Swita akan menjadi saksi satu-satunya tentang kekeliruan dirinya, menurutnya.

Ia mengambil silet kecil yang selalu ia simpan di belakang cermin.

Satu sayat, dua sayat, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Darah mengalir dari sayatan-sayatan yang dibuat Swita di lengan atasnya. Ia tak akan bodoh melakukannya di pergelangan tangan.

Hatinya tenang seketika, ada rasa tenang dan tak takut lagi ketika tetesan darah itu keluar semakin bercucuran.

"Yang terakhir, kesebelas. Untuk kebahagiaan." Sayatan terakhir tetap dilakukan Swita. Ia menggigit bibit bawahnya karena rasa nyeri tetap keluar begitu darah juga mengalir. Namun jiwanya tenang melihat darah itu. Itu membuatnya keluar dari rasa bersalah.

***

"STOP!" teriak Cila dengan tiba-tiba, matanya terbuka langsung. Napasnya tak beraturan, dadanya naik turun, keringat bercucuran.

Aku cuma menaikkan satu alis sebagai jawaban.

"Siapa?! Siapa Swita?! Kenapa? Kan Anda dokter, seharusnya tidak memberitahuku ini!" Cila menjauhkan dirinya beberapa meter dariku.

Aku tersenyum sinis. "Itu sudah beberapa tahun lalu, Cila. Sekarang aku adalah makhluk bebas. Sumpah dokter hanya untuk manusia. Aku bukan."

Mata Cila masih menyipit ke arahku. Aku yakin ia masih menyimpan satu pertanyaan besar. "Ya! Dia tetangga di ujung gang."

Cila langsung berlari begitu saja dari tempatnya duduk. Ah, manusia seperti Cila terlalu bersimpati dan manusiawi.

"Permisi!" Cila berteriak di depan rumah Swita.

Kebetulan sekali, Swita membukakan pintu. "Ya?"

Cila meraih tangan kanan Swita, menarik kaus kuning yang digunakannya hingga menunjukkan luka-luka sayat yang belum mengering.

"Kak, aku nggak butuh rasa simpati itu." Swita menarik tangannya. Ini semakin seru, sejak mati dan tidak lagi menjadi manusia, entah kenapa aku suka keributan.

"Apa?! Kenapa? Itu bukan cara terbaik, Swita!" Cila dengan raut muka marahnya. "Ada banyak jiwa yang ingin hidup. Kamu pikir ini benar?"

Swita tak menjawab. Ia cuma masuk ke dalam rumah dan menutup pintu kencang-kencang. Drama yang luar biasa.

Cila yang sudah duduk lagi di kamarnya menatapku aneh, setelah pulang dari rumah Swita dan hingga larut malam ia masih menatapku.

"Dok, Anda dulu psikiater, bukan? Anda pernah bercerita tentang itu." Akhirnya Cila membuka suara.

Aku mengangguk dua kali. "Tenang. Santai. Nggak usah pakai 'Anda' juga nggak apa."

"Kata 'Anda' menunjukkan kita tidak akrab. Saya selalu melakukannya pada yang bukan manusia. Kita tetap punya batas."

Aku tersenyum singkat. Menarik. "Swita pengidap enosimania kondisi seseorang yang selalu menganggap dirinya melakukan kesalahan besar. Dia takut kritikan, itu sebabnya kamu ditolak begitu saja. Selain itu, dia pengidap self-injury atau menyakiti diri sendiri secara sengaja. Menurutku dia melakukannya untuk merasa menebus kesalahan kecil yang menurutnya salah fatal. Tapi dari yang aku amati beberapa hari ini, dia juga mengidap mood swing. Karena kadang, ia bukan lagi menyakiti diri sendiri untuk menebus kesalahan, tapi seperti sayatan kesebelas, dia melakukannya buat merasa senang aja. Itu seperti lingkaran setan, keadaannya dia merasa bersalah namun menemukan kesenangan di dalamnya."

Aku berdecih. "Swita mengalami guilty pleasure, salah namun senang. Itu lingkaran setan."

Cila memejamkan matanya hingga satu menit tercipta lagi keheningan. Sampai ia mengeluarkan kalimat. "Bukankah yang Anda lakukan juga guilty pleasure?" Cila menarik napas sejenak. "Jika yang dilakukan Swita adalah kesalahan yang menyenangkan, bukankah yang Anda lakukan juga? Bertahun-tahun di dunia manusia untuk menikmati lalu-lalang manusia."

Aku sedikit kaget dengan pernyataan yang dilontarkan Cila. Gadis berumur enam belas tahun ini lumayan juga pemikirannya. "Cila, benar dan salah itu tergantung sudut pandang. Tergantung bagaimana kita menanggapinya. Kamu benar ketika berusaha mengatakan tindakanku salah, tapi jika membuat senang adalah kesalahan, lalu apakah kesedihan yang benar juga akan baik? Juga akan tepat?"

Cila mengeluarkan wajah datarnya. "Namun yang salah, tetap harus kembali ke jalan yang benar."

Aku tersenyum sinis. "Selamat jalan. Semoga hidupmu tenang."

Sebelum benar-benar pergi dari kamar bernuansa klasik itu, aku mendengar Cila mendesis, "Setan."

THE END


Penulis: Cnareswara
Artworker: Cochobear23