Namaku Hara Winarta. Kakak tirikku memberikan julukan benalu darah karena di mana pun aku berada, katanya akan selalu menyusahkan orang di sekitarnya. Aku adalah salah satu mahasiswa yang telah terdaftar di salah satu perguruan tinggi di kota dengan pengidap HIV/AIDS tertinggi di Indonesia.
Jadi, sekarang aku berniat mandiri dan membuktikan kepada semua orang
yang selalu menempatkanku di kelas penuh dengan makhluk berlabel tak berguna.
Aku bisa mandiri dan tidak lagi bergantung terus kepada orang lain. Memulai
babak baru dengan lepas dari omongan para pencaci seperti kakak tiriku.
Kuterima kunci salah satu kamar yang akan menjadi tempatku tinggal.
Wanita pemilik gedung kosan bertingkat lima itu hanya sekali tersenyum
setelahnya mengatakan bahwa aku harus membayar uang tagihan bulanan secara
rutin.
Aku menebak jika wanita setengah abad itu telah banyak menerima penghuni
kostan miliknya yang tidak bertanggung jawab. Jadi, setiap ada penghuni baru.
Dia akan memperingati terus tentang uang tersebut.
Aku mengangguk lemas. Bagaimana tidak? Perjalanan yang kutempuh dari
tempat kelahiranku cukup jauh. Badanku pegal serta letih. Tas dan koper seakan
menjadi beban hidup nyata sekarang.
Dengan langkah gontai, kupijaki setiap anak tangga menuju kamarku yang
berada di lantai empat. Koridor sepi yang memisahkan deretan kamar dengan pintu
yang dicat merah tua. Aku melihat kunciku yang tertera nomor kamar milikku.
“201.”
Aku berjalan menuju kamarku yang ternyata berada paling pojok.
Bersanding dengan ruang kamar bernomor 200.
Tanpa menunggu lama lagi, kumasukan kunci dan cepat memutarnya.
Terdengar suara ‘klik’, lalu kuputar knop pintu, dan mendorongnya hingga terbuka
lebar. Satu hal yang kucium dari ruang kamarku adalah bau sabun. Ada satu
ranjang dengan kasur kusam yang menyambutku. Satu lemari dan meja belajar penuh
coretan tanpa barang apa pun di atasnya. Di balik rak buku ada semacam
ruang kecil yang kutebak digunakan sebagai dapur beserta pintu berwarna hijau muda. Itu adalah kamar mandiku.
Aku menghela napas sebelum memasuki kamarku. Hanya dengan menatapnya
saja aku sudah meraskaan hal yang tak menyenangkan. Apakah aku bisa tinggal di
sini sampai kelulusanku nanti?
Kriek!
Aku terlonjat kaget mendengar pintu kamar sebelah kamarku terbuka.
Sontak aku menoleh ke luar. Tepatnya ke arah suara berasal. Di samping kamarku.
Pintu sebelah terbuka. Netraku menangkap sosok pria dengan kulit putih agak
pucat keluar dari dalam kamarnya. Menenteng sebuah tas hitam beserta dua buah
buku tebal.
Sejenak kuberpikir, apa dia mahasiswa juga? Aku banyak tahu dari pemilik
kosan ini. Bu Ros menceritakan bahwa aku adalah salah satu dari sekian banyak
penghuninya seorang mahasiswa.
Tanpa kusadari, pria tadi juga membalas tatapanku padanya. Dari situ aku
melihat bola mata hitam pekatnya yang gelap.
Kami saling bertemu pandang cukup lama sebelum aku memutusnya dan
cepat-cepat masuk ke kamarku dan menutup pintu.
***
Bangun dari tidur seharusnya menjadi hal yang menyenangkan, kecuali jika kau terpaksa bangun karena suara ketukan pintu yang tak berhenti saat kuacuhkan.
Dengan malas yang bercampur dengan kekesalan, aku turun dari tempat tidurku yang terasa begitu nyaman. Berjalan pelan menuju pintu yang masih terdengar suara ketukannya.
“Sebentar!” seruku.
Satu tanganku bersiap menarik knop pintu hingga akhirnya terbuka. Saking lelahnya aku lupa mengunci pintu sebelum tidur.
Hal pertama yang kudapati setelah pintu terbuka adalah paras pria yang tinggal di sebelah kamarku.
Dia tersenyum tipis dengan gurat pucat di wajahnya.
“Halo tetangga baru,” sapanya.
Aku hanya menatap pria itu dari atas sampai bawah. Kaus putih polos dengan celana jeans hitam longgar. Aku bahkan tak berniat menjawab sapaannya barusan. Namun senyumnya tidak bisa ditolak. Pria itu ternyata cukup manis dengan dua cekungan dalam di kedua pipinya yang bersih.
“Ken.” Dia mengulurkan tangan dengan polos. Bahkan tak ada rasa kesal di wajahnya saat aku tidak menjawab sapaannya.
“Hana.” Aku menjawab tanpa menjabat tangannya yang segera dia tariknya kembali.
“Apa aku boleh minta bantuanmu?”
Kerutan seketika tercipta di dahiku. Bagaimana mungkin orang asing yang baru saja aku tahu namanya, tiba-tiba meminta bantuanku? Mungkin saja jika memang pria bernama Ken ini dalam keadaan darurat. Dia pasti membutuhkannya.
Tapi aku menolaknya dan berniat menutup pintu sebelum Ken dengan cepat menahan pintu dengan satu tangannya.
“Tolong ... cuma kamu yang bisa membantuku.”
Aku mengernyit dengan heran. Bagaimana bisa dia bilang hanya aku yang bisa membantunya? Apa ini lelucon? Apa dia sedang sekarat?
Sekali lagi aku menolaknya dan sekali lagi pula dia memohon dengan lebih memprihatinkan.
Dan aku tidak menolaknya kali ini. Dia terlihat begitu senang, lalu mengajakku untuk berkunjung ke kamarnya sebentar.
Kamar Ken cukup rapi untuk seorang pria sepertinya. Tapi yang menarik perhatianku adalah rak-rak yang penuh dengan buku-buku bersampul tebal, medali penghargaan, serta pencapaiannya.
Aku hanya berdiri di ambang pintu kamar Ken. Bau aroma jeruk memasuki indera penciumanku. Jeruk adalah favoritku.
Tak lama Ken kembali dengan sebuah kotak hitam yang diikat oleh semacam tali hitam, pola menyilang.
“Apa kau bisa memberikannya pada seseorang?”
Kutatap wajahnya dengan penuh tanya. Apa-apaan? Apa dia pikir aku seorang kurir? Padahal dia bisa melakukannya. Kakinya tidak cacat atau sakit, masih bisa berjalan atau jika malas dia bisa memanggil kurir pengantar barang.
Namun, semua jawabanku padanya lagi-lagi dibalas dengan sebuah permohonan layaknya hidupnya sudah tak berarti.
Aku sedikit kasihan melihat wajahnya yang pucat pasi. Tatapannya sayu mengharap.
“Tempatnya tidak jauh dari sini. Dia sedang istirahat sekarang. Aku tahu hari ini dia libur kerja.” Aku bertanya siapa dan dia menjawab orang yang akan menerima barang ini.
“Namanya Aulia.”
Entah kebaikan yang datang dari mana. Tuhan mungkin berbaik hati padaku kali ini. Padahal aku bukan orang yang suka membantu orang lain.
Kuterima kotak kayu hitam itu. Tanpa ukiran, polos dicat hitam pekat dengan ikatan tali di setiap sisinya.Ken menatapku dengan raut yang penuh kebahagiaan.
“Terima kasih.”
***
Tak jauh? Yang benar saja. Aku harus membayar biaya taksi yang mahal. Hanya tujuan alamat yang tertulis di sebuah kertas berwarna kuning kupegang sekarang. Di depanku berdiri sebuah rumah dengan pagar hitam. Tak terkunci, aku bisa masuk ke dalam dengan bebas. Halaman rumahnya adalah hamparan rumput gulma yang belum dipotong. Bangunan rumah yang sepenuhnya hampir dibangun dengan kayu. Termasuk teras bertangga yang kuinjak sekarang. Mendekati pintu dan mengetuknya. Tak ada jawaban. Hingga ketukan yang kuhitung yang kedua puluh kalinya. Pintu terbuka. Sosok wanita tua dengan uban yang hampir memenuhi rambutnya.
“Permisi, Bu. Apa di sini tempat tinggalnya ... Aulia?” Setidaknya aku tahu untuk punya sopan santun di tanah orang.
Wanita tua itu menatapku lama lalu tersenyum.
“Iya. Ada apa ya?”
Tanpa kutanya apakah alamatku benar atau keliru. Karena aku yakin jadi tanpa babibu lagi aku memberikan kotak itu pada wanita itu.
Reaksi wanita itu menatap kotak itu dengan bingung. Lalu keningnya penuh kerutan dan pada akhirnya menerima kotak tersebut. Tangan sedikit keriput itu membuka kotak tersebut. Hal yang bisa kutangkap adalah reaksi terkejut wanita tersebut hingga menjatuhkan kotak tersebut. Isi di dalamnya berceceran keluar. Ada album foto yang terbuka di mana kulihat ada potret Ken bersama dua orang dewasa. Salah satunya wanita dengan wajah yang sama persis dengan di depanku.
Kedua tangannya menutup bibirnya. Air matanya lolos begitu saja. Wanita itu menatapku dengan getaran netranya.
“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanyanya.
Aku yang masih terkejut dan bingung apa yang terjadi hanya menjawab bahwa Ken pria yang berada tepat di sebelah kamar kost milikku.
Wanita itu menangis dengan pilu. Memunguti kotak di yang tadi terjatuh. Album foto, kalung berbandul bulat besar dan surat yang kertasnya sudah menguning—terlalu lama disimpan.
Wanita itu menatapku dengan sayunya. Lalu memelukku dengan sisa tangisnya. Pelukan yang hangat dan penuh rasa terima kasih. Aku merasakannya.
“Ken adalah putraku.” Ucapan wanita yang ternyata Ibu dari Ken membuatku cukup terkejut. Setelah melepaskan pelukannya dia tersenyum penuh dengan luka.
“Kau orang yang spesial.” Aku menatap Ibu Ken dengan keyakinan akan ucapannya. Aku bahkan disebut tak berguna oleh keluargaku sendiri.
“Apa maksudnya?” Aku bertanya dengan tanda tanya besar dibenak.
Wanita tua itu lagi-lagi meloloskan air matanya.
“Putraku telah meninggal sepuluh tahun yang lalu.”
Ada pukulan yang teramat besar yang menghantam kepala dan dadaku. Fakta yang membuatku harus berpikir keras.
Putra? Ken? Maksudnya pria itu telah meninggal? Sepuluh tahun yang lalu? Jadi, siapa Ken yang tadi pagi datang ke kamarku? Orang yang pertama menyapaku?
Aku menatap dengan keterkejutan yang masih tersisa.
“Ken, Putraku pergi setelah kecelakaan di saat perjalanan pergi untuk merayakan kelulusannya.” Ibu Ken menataku dengan sendu. “Ken meninggal dengan cara bunuh diri, dia terjun dari atas gedung kostan.” Aku tercekat mendengar perihal kepergian Ken.
“Dia menghubungiku sebelum pergi. Katanya dia sudah membuat kami malu.”
Aku menjeda dengan kata kenapa.
Ibu Ken mengusap sisa air matanya. “Dia menghamili gadis orang tanpa sengaja. Ken dijebak oleh teman-temannya yang iri dengan prestasinya di kampusnya. Mereka membuat Putraku mabuk dan menempatkannya dengan seorang gadis yang telah sama-sama mabuk.”
Ibu Ken terisak kembali. Aku tak kuat melihatnya lebih lama lagi. Aku hanya berkata kenapa aku harus melihat Ken seolah benar-benar masih hidup dan menyuruhnya ke sini. Ibu Ken menjawab dengan senyum tipis.
“Putraku tengah merindukanku dengan perantara kamu. Kamu bisa melihatnya.”
Aku menatap kotak yang dipegang Ibu Ken. Warnanya berubah kusam, terlihat berdebu dan penuh noda.
Tanpa berpikir lebih jauh lagi. Aku menarik tungkai kakiku dan melangkah cepat meninggalkan rumah itu. Sekilas aku menengok sebentar. Ibu Ken tersenyum dari kejauhan.
Aku berteriak takut lalu berlari.
***
Langkahku gemetar melangkah melewati tangga dan sekarang telah menapaki koridor, berderet kamar-kamar lainnya. Termasuk kamar bernomor 200 di sana. Aku benci kenapa hal ini terjadi padaku. Tetangga sekamarku adalah hantu. Ini adalah mimpi buruk yang paling buruk selama ini. Sialnya ini nyata.
Aku mencengkeram tali tas selempang yang kupakai. Mataku menatap koridor yang begitu sepi. Aku benar-benar tidak suka. Padahal langit masih terang tapi entah kenapa tempat ini terasa mencekam.
Aku berdoa dengan serius, tubuhku gemetar, keringat dingin mulai terasa keluar dari pori-pori kulitku.
Mencoba menutup mata rapat-rapat saat melewati kamar bernomor 200 itu. Tapi sialnya suara pintu kamar itu terbuka. Harusnya aku menjerit ketakutan, tapi anehnya tidak saat aku membuka mata.
Ken berdiri membelakangi pintu kamarnya yang sedikit terbuka. Dia tersenyum padaku. Senyum yang lebar dan gurat penuh rasa terima kasih.
“Maaf membuatmu takut ... terima kasih banyak sudah membantuku.” Ucapan terakhirnya sebelum menghilang dan bersamaan dengan tepukan kencang di pundakku.
“Kamu kenapa bengong di sini?” Bur Ros menatapku dengan rona heran.
Aku gelagapan menanggapinya. Mataku menatap pintu di depanku yang tertutup rapat. Aku menoleh ke arah Bu Ros lalu menunjuk kamar bernomor 200 itu.
“Kenapa? Kamar itu memang sudah nggak dipakai sejak penghuninya bunuh diri.” Bu Ros beralih mendekati pintu, memasukkan kunci ke dalam lubang knop dan membuka pintunya. Di saat bersamaan aku bisa melihat isi di dalamnya yang berubah jauh berbeda. Banyak sarang laba-laba dengan lantai penuh debu kotor.
Bu Ros menatapku dari ambang pintu. “Kamar ini memang sengaja dikosongkan atas perintah orangtua korban bunuh diri itu.”
Aku mendekat dan menatap keseluruhan ruangan. Tak ada rak penuh buku, tak ada medali atau sosok Ken di dalam sana.
“Tapi sayangnya, keluarganya juga meninggal dalam kecelakaan mobil setahun lalu. Jadi ruangan ini nggak ada yang menjamin pembayaran lebih lanjut.”
Aku menoleh ke arah Bu Ros yang terlihat rugi dengan satu ruang kostnya yang terbengkalai.
Tapi bukan itu yang menarik perhatianku. Aku bertanya dengan apa maksud dari keluarganya meninggal?
Bu Ros menghela napas pelan. “Ayah dan anak bungsunya meninggal saat kecelakaan setahun lalu.”
Aku menyimak dan berkata dengan hati-hati.
“Jadi, tinggal wanita bernama Aulia, ibunya korban bunuh diri itu yang tersisa.” Namun, Bu Ros menatapku dengan kerutan. “Tapi kemarin aku mendapatkan kabar bahwa Aulia meninggal akibat depresi.”
Aku terkesiap, kedua mataku seolah hampir saja keluar dari tempatnya. Lagi-lagi tubuhku mendapat kejutan.
“Meninggal?”
Bu Ros menghela napas. “Iya, seminggu yang lalu, mayatnya baru saja dimakamkan.”
***
ROOM (200-001)
Penulis: Agus Setiawan
2 Komentar
Ini genrenya mistery horor ya guys. Kalo kepo sama ceritaku yg lain bisa cari di WP agussetiawan2001.
BalasHapusEh, tapi di cerpennya ada bagian yg lupa ku corp/buang. Tapi nggak kentara sih klo pas dibaca ;)
Makasih buat mimin circle pedia ❤
Sama-sama, Kak. Terus berkarya~
HapusYuk kita beropini mengenai isi post-nya~