Dunia ini terasa seperti sebuah lelucon, tapi nyatanya bukan. Bayangkan saja! Setiap jamnya, setiap harinya, setiap minggunya dan seterusnya, kita dihadapkan dengan situasi yang sangat tidak pernah terbayangkan. Sering juga berpikir, tenanglah ... dunia memang semakin kejam sekarang.

Semua manusia sama, tidak ada yang beda. Intinya ya sama, sama-sama ciptaan Tuhan dan diciptakan untuk menjalani kehidupan. Hanya segelintir perbedaan yang membedakan kita.

Aku, diriku, jiwa ini, dan raga ini, mereka terkadang bertengkar untuk menentukkan apa yang harus dipilih. Rasanya sangat bingung sekali ketika mereka memutuskan untuk bermusuhan karena suatu hal yang harus dihadapi. Ingin mengikuti jiwa, tapi raga selalu saja menghalanginya. Sebenarnya aku ini kenapa? Aku ini ingin apa? Tatapan kosong, mata yang sayu, dan senyuman yang jarang sekali terukir. Semua itu sangat menggangu penampilanku bahkan pikiranku.

"Lo! Ngapain lo ke sini?" tanyaku pada seseorang yang tengah berdiri di depanku itu.

Tidak ada jawaban darinya, yang ada hanyalah tatapan beku dan penuh arti. Sorotan matanya menandakan ada kekecewaan yang sangat tidak bisa dikendalikan.

"Gue tanya, lo kenapa ke sini? Kenapa harus datang? Kenapa harus ada di hadapan gue?" Lagi-lagi, aku mencoba memaksanya untuk menjawab pertanyaanku yang bertubi-tubi itu. 

Namun nihil, dia tidak sedikit pun bergumam padaku. 

"Jangan pasang ekspresi kayak gitu di hadapan gue, gue gak suka." Air mataku mulai turun, Aku mencoba melarangnya untuk berhenti menatapku dengan tatapan yang menyakitkan itu, benar! Aku sangat terganggu dengan tatapannya.

"Gue mohon jawab pertanyaan gue, lo siapa? Kenapa lo berani-beraninya ngerubah gue yang dulu? Gue gak suka kayak gini, please kembaliin gue yang dulu."

Tangisku pecah, aku mulai memukul-mukul cermin yang berada di hadapanku sampai retak. Iya! Seseorang yang tadi itu bukan siapa-siapa. Dia adalah aku, aku sedang mencoba menggertak diriku sendiri agar sadar, sadar bahwa keadaanku yang sekarang ini tidak benar. Sangat tidak benar!

"Heh! Gue gak mau kehilangan lo! Lo tau lo itu berharga buat gue, jadi tolong jangan tinggalin gue kayak gini, lo yang dulu! Gue lebih suka gue yang dulu." Aku menahan tangis di balik cermin yang tengah kutatap itu. Tanganku mencoba untuk memukulnya lagi dengan keras. Darah mengalir dari sela-sela jari-jariku dan aku tidak peduli dengan semua itu.

"Gue mohon, sekarang yang terakhir lo ninggalin gue, untuk ke depannya, gue gak mau lagi kehilangan lo sampai kapan pun."

Tangisku berhenti sampai di sana. Bukan berhenti! Lebih tepatnya tertahan. Aku mulai menegakkan tubuhku dan mengusap air mataku yang bercampur dengan darah dari tangan kananku itu. Penampilan yang sungguh menyeramkan, aku berjanji tidak akan membuatku seperti itu lagi.

"Lo janji, lo harus lebih baik lagi. Gue mau lo kayak dulu lagi, jangan sekali-kali berpikir buat balik lagi kayak gini. Jangan buat lo benci sama diri lo sendiri."

Aku mulai menyunggingkan senyuman tipis pada bibirku. Untuk pertama kalinya lagi, aku bisa melihat senyumanku. Mencoba berusaha tenang dan memegang dadaku yang sudah berdegup kencang sedari tadi.

"Cukup ya, semua orang yang ada di sini gak suka lo kayak gini, semua orang benci lo kayak gini, mereka lebih suka lo yang dulu." Aku mencoba memegang cermin yang sudah retak itu, ada sedikit goresan darah di sana dan menurutku itu tidak terlalu masalah.

"Jadi gue mohon, balik ke sini! Gue tunggu lo." Aku menatap bayangan diriku di cermin yang retak itu dengan tatapan kosong.

"Gue yang dulu, ada yang rindu di sini."

 

TAMAT


 Pengarang: Willan Willianty (EL)