Kelopak mataku dengan cepat mengerjap, tersentak
mendengar gedoran memekakkan di luar pintu. Masih terlalu petang untuk terjaga.
Kulihat jam digital di pojok layar ponsel. Masih pukul 04.30 pagi. Namun,
gedoran yang membangunkanku dan diiringi bentakan keras terlalu biasa untuk
kuterima. Seseorang di luar mengamuk karena kedinginan.
Dia mandi terlalu pagi di cuaca dingin. Apalagi saat
hujan deras mengguyur. Masalahnya dia punya kebiasaan buruk menanggalkan handuk
di gantungan luar, tak mau membawanya masuk ke dalam kamar mandi. Dia menggigil
kedinginan tanpa busana. Mengomel minta diambilkan handuk, padahal tinggal
mengambil beberapa langkah di gantungan sisi kamar mandi.
Ekspresi kerasnya tentu saja membuat aliran
karbondioksida terhempas paksa dari kedua lubang hidungku. Aku terpancing atas
sikapnya yang tak pernah berubah.
Tiga belas tahun berlalu. Dia masih menjengkelkan.
Seharusnya aku kasihan pada nasib buruknya. Dia mati separuh badan. Nyaris
mangkat akibat pembuluh darah pecah dan masuk ke syaraf otaknya. Sekarang pun
bertahan dengan tongkat yang salah satu mata kakinya penyok.
Aku benci pada kelakuannnya, yang jauh melebihi
manjanya anak kecil. Serba salah bagiku untuk menghadapi sikapnya yang
keterlaluan. Jika dilawan, aku durhaka. Jika dibiarkan, aku yang gila.
Kadang, kalau aku nyaris kalap, aku ingin melempar
pisau ke arahnya. Namun, aku masih punya hati nurani.
Dia ibuku.
“Apa sih!” bentakku tidak bisa mengendalikan diri.
Kepalaku berdenyut, efek kurang tidur. Sebagai pencari
nafkah yang bekerja larut malam, aku butuh tidur sejenak. Namun, dia tidak mau
peduli pada kebutuhan dan kepentinganku. Pokoknya, kemauan ibu yang harus
utama.
“MANA TIPIKU!”
Ibu balas mengamuk. Aku paham arti kosa katanya yang
terbatas. Bagian lobus temporalnya sudah rusak, sehingga kenangan-kenangannya terkikis banyak. Ingatannya yang tajam hanyalah saat dia sedang menonton TV
larut malam.
Terkadang aku menolak untuk mendengar atau
menerjemahkan satu per satu. Aku sudah kelelahan dengan caranya yang suka
berteriak penuh tuntutan.
“Kebiasaan! Masuk kamar dulu!”
Aku pergi ke depan kamar mandi, mengambil handuknya
dan kembali ke kamar ibu yang bersebelahan dengan kamarku. Aroma pesing
menghantamku telak. Aku ingin berteriak, tak kuasa atas lelah yang kuhadapi.
Beberapa jam sebelumnya aku mengepel kamarnya, berkat ibu yang telat buang air
kecil. Sekarang sudah harus mengepel lagi, tetapi prioritasku hanyalah
membantunya berpakaian lebih dahulu.
Ibu mengomel lagi, karena pilihan baju yang kuambil
dari lemari. Bajunya dilempar ke wajahku. Kesabaranku berada di ujung tanduk.
Teriakan di balik daun telingaku semakin nyaring.
Aku ingin membunuhnya.
Tidak. Kumohon. Aku tidak mau gila. Tuhan, tolong
selamatkan jiwaku.
Serpihan luka itu terus menggema di hatiku. Air mataku
luruh tanpa dikendalikan. Tanganku bergegas cepat, memaksanya berpakaian dengan
benar selagi wajahku dicakar ibu. Aku sangat ingin ada seseorang di sisiku
untuk mendengarkan semua bebanku.
Aku membencinya karena dia ibuku.
Aku ingin menjauh darinya, sebelum sadar telah mencabut
nyawa orang yang melahirkanku.
Aku hanya ingin waras. Setidaknya.
Tiga belas tahun itu berlalu dengan lambat. Aku lelah
dalam cobaan berkepanjangan. Bagaimana bisa kuperoleh surga dan hidayah jika
saban hari pertengkaran terus terdengar?
Aku lelah berada dalam pertengkaran maha panjang.
Selalu saja muncul masalah, dan aku berada dalam posisi mengalah. Nyatanya
hidupku kacau balau. Sudah dua kali aku mengurung diri akibat depresi.
Ibu, bolehkah aku mati lebih dahulu agar dosaku tidak
semakin bertumpuk? Kapan engkau mau bersikap sebaik-baiknya ibu yang welas
asih. Aku telah padam dalam ketiadaan kasih sayang. Bolehkah aku menyerah?
Aku mengambil ember dan tongkat pel, membersihkan
sumber bau pesing di kamar. Langit mulai terang, sisa subuhan semakin terbatas.
Dengan cepat aku beribadah, menumpahkan semua keluh kesah pada Yang Maha
Mendengar.
Bahkan, jika ini ladang dosa, bukankah ada banyak
ladang pahala? Perjuanganku tidak seperti saudara-saudaraku yang berkeluarga
dan merantau di luar, sebatas kirim duit awal bulan sebagai bentuk balas budi.
Tuhan, andaikan hidupku didedikasikan merawat ibuku,
maka berikanlah kekuatan dan kesabaran hatiku untuk mengasuhnya sampai Kau
mengangkat roh dan jiwanya ke langit. Bagaimana pun, aku pernah meminta padaMu
hari itu. Akan kuterima ibu bagaimana pun keadaannya asal hidup.
Aku mataku semakin bercucuran, selagi ingat doa masa
laluku di sepertiga malam, kala ibu koma selama 16 hari. Ini jawaban dari
doaku sendiri.
Beri aku kesempatan berada di sampingnya, bahkan saat
kematian menuntunnya ke dalam bumi.
Lantas mengapa berat bagiku melakoninya?
Oh malang nasibku. Putri yang durhaka. Aku
gagal mempelajari arti keikhlasan atas kekurangan makhluk-Nya.
Pengarang: Ravenura
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~