Dia terbangun dari tidur lelapnya, tepat ketika mentari menunjukkan eksistensinya. Matanya yang bulat mengerjap-ngerjap bak bocah, memperhatikan sekelilingnya seperti berada di antah berantah. Suaranya bergetar saat ia berkata, "Aku masih hidup." 

Perlahan kaki jenjangnya menuruni kasur dan berdiri di depan sebuah cermin full body. Mimik wajahnya jelas terlihat sangat terkejut, tetapi tak ayal binar matanya pun menunjukkan rasa senang yang teramat sangat. Dengan senyum secerah mentari pagi ia pun bergegas meninggalkan kamarnya menuju lantai bawah. Saat sosok mama dan papanya menyambut pandangan, ia pun berteriak kegirangan, "Mama, Papa!"

"Pa, itu suara Jean!"

"Iya, Ma! Ini aku, Jean!" teriak Jean sembari berlari menuruni anak tangga. 

"Ma, Jean udah nggak ada," tukas papa Jean. 

Jean tersenyum sambil menatap punggung papanya. "Jean di sini, Paa." 

Tak satu pun dari mereka yang menghiraukan Jean, justru tangis mama Jean semakin keras dan memilukan. Kebingungan terlukis jelas di wajah cantik pemilik nama Jeani Weopi itu. Lantas ia pun berjalan mendekati kedua orangtuanya, menyentuh bahu mamanya, dan berujar, "Ma, Jean di sini." 

Isak tangis mama Jean sama sekali tak mereda, bahunya masih bergetar hebat. Bahkan, setetes air mata mengalir di pipi papa Jean. Lelaki dengan pembawaan yang selalu tegar itu kini menangis, menangisi putrinya yang tak lagi bisa ia hapus air matanya. Menangisi putrinya yang tak akan merengek lagi padanya.  Di sisi lain, Jean jatuh terduduk di depan kedua orangtuanya, isak tangis mulai keluar dari bibirnya. Tangannya memukul-mukul lantai dan meraung sekeras-kerasnya, mencoba mengatakan pada dunia bahwa ia di sini. Namun, apalah daya, kedua orangtuanya bak orang tak acuh paling ulung sekarang. 

"Ma, papa pikir kita harus tinggal di apartemen untuk beberapa waktu. Rumah kita ... memiliki terlalu banyak kenangan dengan Jean." 

Mama Jean hanya mengangguk membalas ucapan suaminya, sedangkan pandangannya tak sedikit pun berpaling dari pusara Jean. Putri yang kelahirannya ia tunggu-tunggu, kini tak lagi bisa ia temui. Ia bahkan tak percaya, Tuhan akan memberinya sakit sesakit ini. Tanpa mereka sadari, Jean berdiri tepat di hadapan pusaranya sendiri. Ia memandang nanar ke arah batu nisan bertuliskan namanya sendiri, Jean Weopi. Ia masih tak dapat memahami apalagi mempercayai apa yang terjadi. Lalu, ia berpaling ke arah mamanya yang masih saja terisak. "Di antara banyaknya hal yang mama lakukan karena aku, ini hal yang paling tidak aku tunggu." 

Kemudian, ia memandang papanya. Lelaki itu tak lagi menangis, tetapi kesedihan tetap terpancar di wajahnya. "Pa, kausudah tak bisa meminjamkan bahumu lagi, ya?" lirih Jean dengan bibir yang bergetar. Air mata pun kembali mengalir dari mata bulat Jean. Lagi-lagi ia jatuh terduduk, kakinya seolah-olah tak lagi mampu menahan berat badannya. Sampai kedua orangtuanya beranjak pergi, Jean masih terduduk sembari memandang pusaranya sendiri. Menangis benar-benar tak ada gunanya sekarang. Tak sedikit pun mengurangi rasa sesak di dada. 

"Kak Pandu! Lihat, ada balon!" 

Langkah kaki Jean berhenti, ia mematung saat tiba-tiba sebuah suara menyusup masuk ke dalam pendengarannya. Sontak ia pun segera menoleh ke arah suara itu berasal. Matanya langsung disuguhi dengan pemandangan yang cukup romantis. Seorang gadis tengah terduduk di atas kursi roda lengkap dengan pakaian khas pasien rumah sakit, dan di belakangnya ada lelaki yang tengah mendorong kursi roda miliknya. Kepala mereka menengadah, menatap balon berwarna kuning yang menari-nari tertiup angin. Entah apa yang salah dari pemandangan itu, hingga membuat Jean mematung. 

Jika kita menyelami pikiran Jean, maka sekarang di sana tengah diputar sepenggal kisah Jean semasa hidup. 

"Papa! Ada balon terbang!" pekik Jean kegirangan. Jean pun mulai berlari-lari di halaman rumahnya, mengejar balon berwarna kuning yang terbang tak terlalu tinggi. Gadis bermata bulat itu berhenti sejenak dan menoleh ke arah papanya. "Ayolah, Paa, bantu aku! Sebelum balonnya terbang lebih tinggi."

Jean kembali mengejar balon itu. Angin seperti tengah mempermainkannya, menghempas balon itu ke arah kanan, lalu menepisnya ke arah kiri. Membuat balon itu hanya terbang di sekitar halaman rumah Jean. Papa Jean terkekeh melihatnya, senyum terukir begitu jelas di wajahnya. Seakan-akan memamerkan kebahagiaan yang tengah ia rasakan kepada siapa pun yang melihatnya. 

"Kausudah tumbuh besar, tetapi kautetap putri kecil papa, Jeani."

Papa Jean pun bergabung dengan Jean, mengejar balon berwarna kuning yang masih dipermainkan angin. Kali ini, tak butuh waktu lama balon berwana kuning itu pun berhasil diraih dan tak lagi terombang ambing di antara lautan angin. 

"Yeay!" 

Lelaki yang menggenggam tali balon berwarna kuning itu berjalan mendekati seorang gadis yang menunggunya dengan antusias. Gadis itu pun menerima uluran balonnya dengan senyum merekah, membuat mata sipitnya tinggal segaris. "Makasih Kak Pandu," tukasnya.

Lelaki itu mengangguk sambil mengacak rambut gadis bermata sipit itu. Tatapannya penuh cinta, juga penuh luka di saat yang sama. Mereka pun berlalu pergi ke arah bangku yang tersedia di pinggir taman, dengan Jean yang setia mengikuti di belakang mereka. Ada sesuatu dalam diri Jean yang ingin menyelamatkan gadis itu, sesuatu dalam dirinya meminta agar ia menjauhkan gadis itu dari balon kuning pembawa kematian. Akan tetapi, logikanya menolak. Saat ia melihat gadis itu, ia berkeinginan untuk memiliki ... teman. 

"Kak Pandu, aku mau duduk di bangku itu bareng Kak Pandu," pinta gadis itu kepada lelaki bernama Pandu, yang sedang duduk di bangku taman tak jauh dari rumah sakit. Dengan gesit Pandu membantu gadis itu untuk pindah dari kursi rodanya ke atas bangku taman. 

"Gini?" tanya Pandu sedetik setelah gadis itu terduduk. 

Gadis itu tersenyum sembari mengangguk-anggukan kepalanya. "Sini deketan." 

"Gini?" Pandu kembali bertanya sembari merangkul gadis itu. Mungkin, gadisnya.

Gadis itu tak menyahut, ia hanya tersenyum dan mulai menyandarkan kepalanya. Balon berwarna kuning yang ia genggam, bak tengah tersenyum di atas kepalanya dan Pandu. Tangannya yang tak menggenggam tali balon bertugas menggenggam tangan Pandu, mengisi ruas-ruas jari jemari lelaki tampan itu. Jean tersenyum melihatnya, mereka sama-sama tak ingin kehilangan, tetapi apalah daya manusia hanya dapat membuat harapan. 

"Kak Pandu," lirih gadis itu.

"Hm."

"Aku sayang kakak," ungkap gadis itu tanpa malu-malu.

"Kakak tahu." 

"Kak Pandu."

"Hm."

"Aku jatuh cinta sama kakak." 

"Kakak tahu."

"Kak pandu."

"Hm."

"Aku gamau kehilangan kakak."

"Kakak juga,” lirih Pandu.

Mulut gadis itu berhenti mengoceh. Matanya yang sedari tadi memperhatikan tangannya yang bertaut dengan tangan Pandu, kini tertutup. Lalu, dengan sangat pelan, tangannya yang menggenggam tali balon berwarna kuning pun mengendur. Hingga akhirnya balon itu kembali terbang dihempas angin, dan ia sama sekali tak berkata, “Kak Pandu balonnya terbang!” seperti yang Pandu inginkan. 

"Jean!" 

Suara melengking sang papa yang beradu dengan suara klason mobil memenuhi pendengaran Jean. Saat kepalanya menoleh, saat itu pula segalanya berakhir. Balon berwarna kuning terlepas dari genggamannya. Tak lagi ada bunyi yang terdengar oleh telinganya, dan mesin canggih milik rumah sakit pun tak akan bisa mendengar detak jantungnya. 

Pandu merengkuh gadis itu. Menaruh kepala gadis itu di dada bidangnya. Memeluknya sangat erat. Menahan rasa sesak yang teramat sangat. Ia harus bersiap ditemani rindu yang tak akan berujung temu. Jean ikut merasa sakit melihatnya, tetapi tak dapat dipungkiri ia pun merasa senang saat tahu ia akan memiliki teman. 

"Tak akan ada teman." 

Jean menoleh ke sana–kemari mencari sumber suara aneh itu. Tak terdengar seperti suara perempuan ataupun laki-laki. Suaranya pun tak jelas berasal dari mana. 

"Seandainya kau menyelamatkan gadis itu. Kaudapat beristirahat dengan tenang." 

Jean begitu terkejut saat mendengar penuturan suara aneh itu. Tiba-tiba ia diserang rasa panik. Menoleh ke sana–kemari mencari jawaban. Hingga matanya menangkap balon berwarna kuning yang terbang semakin tinggi bak mencapai langit. Aneh, rasa sesak, sedih, panik, dan berbagai rasa lainnya mulai mendera hatinya. 

"Arghhh!"

Jean berteriak sekencang yang ia bisa, meraung, memukul-mukul tanah. Dadanya terasa sesak, sesuatu seperti tengah menimpa dadanya. Sakit, sangat sakit. Rasa takut pun semakin menyelimuti dirinya. Apa yang harus ia lakukan? bagaimana hidupnya? Dan pertanyaan-pertanyaan lain berdatangan, terngiang-ngiang di kepalanya. Seharusnya ia tak begini. Seharusnya ia tak menghancurkan harapan Pandu dan gadis itu. Seharusnya ia tak menjadi gadis egois. Papanya pasti kecewa. 

Tak peduli seberapa keras Jean meraung. Tak peduli sebesar apa penyesalan yang Jean rasakan. Balon itu tetap terbang ke mana pun angin akan membawanya. Terbang dan terus terbang, hingga seorang bocah lelaki berambut cokelat meraihnya. Ia melompat-lompat kegirangan, dan berlari ke arah kedua orangtuanya sambil berteriak, "Ayah, Bunda, lihat apa yang kudapat!"

 

TAMAT

 

Pengarang: Fini Mulyawati