Orang ini, sungguh dia menyebalkan. Perut buncit, hidung merah dan rambut warna-warni di kepalanya itu memuakkan. Aku sudah lelah membentaknya untuk tidak mengikuti dan berbicara padaku, tapi apa? Yang kudapat hanyalah balasan sama setiap kalinya. Dia, badut jelek itu selalu berkata, "Ya Letta, ayo kita bermain seperti keinginanmu!" 

Stop! Apa katanya? Bermain? Aku benar-benar tidak mau bermain dengannya aku bukan anak-anak lagi, dan keinginanku? Tahu apa tentang keinginanku enak saja dia berbicara seperti itu, mengesalkan. 

Dia terus saja mendesakku dengan perut buncit bulatnya itu. 

"Ish, tidak mau bermain denganmu badut jelek! Aku tidak menginginkan siapa pun, pergilah!"

Perut bulat yang seinci lagi menempel pada lenganku itu semakin membuat emosi saja. Dia, badut jelek itu, mendekatkan bibirnya ke telingaku serta membuatku tertegun saat berbisik, "Kalau begitu mari bertemu Ayah." 

Dia, badut jelek itu, berjalan ke arah utara sambil mengayunkan tangannya memanggilku. Sedang aku geming menatapnya semakin jauh. Melihatku tidak melangkah sedikit pun dia kembali dan menarikku serta bersamanya. Menurut padanya, yang kulakukan saat ini. Entah bagaimana tiba-tiba saja aku ikut badut ini dan sampai pada gerbang besar dengan tanaman rambat berdiri kokoh di hadapanku. Menengok sedikit ke dalamnya terdapat banyak bunga merah menyala yang selaras dengan dedaunan hijau segar di antaranya. Puluhan kupu-kupu beterbangan ke sana ke mari, hingga mataku menangkap tubuh tegap yang menghadapku saat ini. 

Sungguh tidak percaya rasanya Ayah benar tersenyum, melangkah padaku, mengelus rambut dan memelukku. Menangis aku dibuatnya, sangat merindukan Ayah. Kami duduk pada bangku panjang dengan ukiran kayu cantik di bagian atasnya. 

Aku terus bergumam merindukannya, tapi ia hanya membalasnya dengan, "Iya, Ayah tau." 

Sore telah tiba, hari berlalu cepat yang kuhabiskan dengan memeluk Ayah, kami bercerita cukup banyak hari ini. Bukan kami, hanya aku, karena ia, pahlawanku itu hanya tersenyum dan mendengarkan segala yang keluar dari mulutku. Sesekali ia mengangguk dan tergelak senang. Hingga pada akhirnya Ayah melepas pelukanku, dan berkata, "Ayo bermain dengan Ayah." 

"Bermain petak umpat, seperti beberapa waktu lalu. Ayah akan bersembunyi dan Letta yang mencari." 

"Jika Letta berhasil, seperti biasa Ayah berikan hadiah untuk Letta." Setelah mengatakannya Ayah lalu begitu saja, menghilang di antara hijaunya pohon-pohon kecil yang ada di sini. 

Tak menunggu waktu lama, aku pun mengikuti jejak ayah. Menengok ke segala arah hanya sepi yang kudapati. Tidak ada seorang pun di sini, Ayah tidak ada bahkan badut jelek yang selalu mengikutiku tadi juga tidak. Mereka menghilang. 

Sungguh, aku tidak ingin terpisah dari Ayah lagi, dengan kacau aku menapakkan kakiku ke sana ke mari, nihil. 

"Ayah! Ayah di mana?"

"Badut jelek! Jangan sembunyikan Ayahku!" 

"Badut jelek! Ayah di mana?!" 

Aku terus berteriak demikian, namun tetap tidak ada orang di sini. Kucoba meneliti tempat ini sekali lagi, tetap saja tidak kutemukan siapa-siapa. Aku menyerah, bulir bening sekarang sudah siap meluncur di pipi kecilku, sebelum.... 

"Ayah!" panggilku padanya.

Terlihat jelas di depan sana Ayah tersenyum senang. Ah, aku lega menemukan Ayah, segera dengan riang aku berlari padanya, pula akan meminta hadiah sesuai janji, namun dirasa semakin berlari aku semakin jauh dari Ayah, sangat jauh. Kukerahkan semua tenaga untuk cepat menghampirinya, tapi cahaya terang menarik Ayah dengan cepat sebelum putri manisnya sampai padanya. 

Dengan begitu aku tersentak dan bangun berkeringat serta napas yang terengah, mimpi itu. Mimpi yang sama bersama Ayah. 

 

 TAMAT


Pengarang: Belva Wicko