"Diam adalah salah satu jawaban paling menyakitkan."

-Segara Angkasa-

 

Kita berjumpa lagi keesokan harinya. Kau dengan kaos putihmu semakin memikatku untuk jatuh dalam pesonamu. Di tempat yang sama, kutemui kau. Kau sedang berdiri kala itu. Menikmati debur ombak yang menghantam karang di pinggir pantai.

"Hai, kita berjumpa lagi," ujarku membuka percakapan.

"Aku menunggumu dari tadi. Mengapa hari ini kau terlambat?" tanyamu.

"Ahh, aku pikir ucapanmu kemarin hanya bualan. Makanya aku mengulur waktu," sahutku.

"Dengar Sera, aku tidak pernah main-main dengan perkataanku," ujarmu, membantah perkataanku.

"Baiklah. Maafkan aku, Sega."

Selanjutnya kau terdiam. Membuatku hanya berdiri, ikutan memandang laut lepas yang terlihat begitu biru sore itu. 

"Ke mana lautan ini akan berakhir?" tanyaku, yang membuatmu mengerutkan kening.

"Mengapa kau bertanya begitu?"

"Jika saja lautan tidak luas, hanya sepelemparan sauh, tentu aku bisa dengan mudah menjumpainya," kataku.

"Kau ingin bertemu dengan orang yang telah menyakitimu?" tanyamu, lagi.

Aku menganggukkan kepala dengan antusias, lalu tersadar bahwa itu hanyalah mimpi di siang bolong. Dia sudah lama pergi. Dan aku yakin, dia telah bahagia sekarang. Kau pun ikut diam, kembali mengamati pemandangan. Hari semakin sore. Bias-bias jingga memenuhi langit, membuatmu tersenyum begitu manisnya. Dan aku yang tidak tahu apa-apa ini pun, tertular senyummu. Aku kagum dengan ciptaan Tuhan yang tiada duanya. Pemandangan senja ini, dan juga kamu.

Lalu dengan kurang ajarnya, debaran aneh itu mulai muncul. Awalnya biasa saja. Tetapi temponya bertambah cepat ketika jemarimu dengan lembut mengacak rambutku. Hei, apa kamu tak tahu? Hatiku pun menjadi berantakan sebab ulahmu tadi.

Dan hati ini semakin melemah ketika kau menautkan jemari antara kita. Sega, kamu memang pandai perihal membuat seorang jatuh sejatuh-jatuhnya. Sebab kini, kupasrahkan seluruh hatiku padamu. 

"Mau minum sore sebentar?" tawarmu dengan senyum manis yang membuatku salah tingkah.

"Di mana?" tanyaku.

"Di dekat sini ada café. Aku beberapa kali singgah di situ. Tempatnya nyaman," ujarmu.

"Baiklah, ayo pergi," kataku bersemangat.

"Hei, pelan-pelan saja jalannya. Aku ingin menikmati waktu denganmu," ujarmu.

"Ehh? Aku tak salah dengar bukan?"

"Jangan berlari, Sera. Kau bisa terjatuh," katamu.

Kau salah, Sega. Aku memang telah jatuh. Jatuh ke dalam pelukanmu.

"Tak perlu kau ingatkan, Sega. Sebab nyatanya aku sudah jatuh padamu," ujarku, yang tanpa sadar membuatku menghentikan langkahku. Apa yang baru saja kukatakan? Wajahku memerah, menahan malu.

Kau hanya membalasnya dengan senyuman, lantas menarikku mendekat. Jalan yang kita lalui saat itu nampak ramai, tetapi yang ada dalam benakku bahwa hanya kau dan aku yang ada di sini.

Kita tiba di café yang katamu, nyaman itu. Aku meneliti tempat itu. Ahh, rupanya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Tak banyak yang berubah dari tempat ini. Hanya saja, mawar putih yang dulunya memenuhi pekarangan café ini sudah tak ada. Sepertinya, semenjak dia memutuskan untuk pergi, mawar putih juga memutuskan untuk mati.

"Ayo masuk," ajakmu.

Aku mengikuti langkahmu, dan kita tiba di sebuah tempat yang kau bilang, tempat favoritmu. Ya, di pojok itu. Tempat yang sama. Tempat di mana aku dan dia biasa menghabiskan waktu.

Kita duduk. Lalu seorang pelayan keluar dari balik meja jaganya. Menuju kita, lalu menyodorkan daftar menu yang ada di café ini. Cukup lama kau melihat daftar itu sebelum akhirnya kau membuka percakapan.

"Jadi kau ingin memesan apa, Sera?" tanyamu, berlagak sibuk membolak-balik halaman menu.

"Aku ingin secangkir teh. Dan kau, ingin memesan apa?" Aku balik bertanya.

"Aku ingin memesan secangkir kopi. Seperti biasa, jangan masukkan gulanya," ujarmu.

Pelayan itu bergegas pergi setelah selesai mencatat pesanan kita. Kau berbalik dan langsung hinggap tepat di manik mataku.

"Mengapa kau memesan secangkir teh?" tanyamu, langsung pada intinya.

"Karena aku suka teh," jawabku.

"Kau suka minuman yang manis? Bukankah yang manis-manis bisa membuat sakit?" tanyamu lagi.

"Aku tahu. Tetapi tak mengapa bukan? Bukankah sakitnya tidak sekarang, melainkan nanti?" sahutku, santai.

"Mengapa kau tak memesan secangkir kopi sepertiku?"

"Aku tak biasa minum kopi. Terlalu pahit, tidak manis seperti teh," kataku.

"Sekarang aku tahu, kenapa kau menyukai minuman yang manis."

"Apa?"

"Sebab dia dulu pernah memberikanmu janji-janji manis yang membuatmu terbuai, bukan? Kau menyukai manis juga karena dia. Seandainya dulu, dia tak pernah mengumbar janji manis, kau tentu bisa minum minuman yang lain. Seperti kopi misalnya," ujarmu.

"Hahaha, ucapanmu sangat tak masuk akal. Kau benar perihal dia yang terlalu sering mengumbar janji manis. Tetapi, bukan itu jawaban. Yang benarnya adalah, aku alergi dengan kopi. Ahh, lebih tepatnya aku alergi dengan kafein."

Aku dapat menangkap raut kebingungan dari wajahmu, Sega. Kau memandangiku lama, lalu kembali berucap.

"Bukankah teh juga mengandung kafein? Mengapa kau hanya alergi kopi?"

"Entahlah. Aku tak begitu tahu tentang hal itu," jawabku akhirnya.

Sekali lagi hening menyeruak di antara kita. Membuatku memutuskan untuk menyambung percakapan yang tadi sempat terputus.

"Bagaimana dengan kau, Sega? Mengapa kau memesan secangkir kopi tanpa gula?" tanyaku, murni karena penasaran.

"Aku tak suka yang manis-manis. Bukankah rasa kopi memang harusnya pahit? Mengapa kau harus repot-repot menambahkan gula ke dalamnya?" 

"Ya, supaya rasa kopinya agak manis, Sega," gerutuku.

"Dengar Sera. Rasa kopi memang sudah seharusnya pahit. Sekarang aku tanya padamu. Bagaimana jika aku memintamu untuk memesan secangkir teh tanpa gula? Kau takkan mau, bukan? Seperti teh yang identik dengan rasa manis, aku tak mau jika harus menghilangkan rasa asli dari kopi. Dari kopi, aku belajar bahwa yang pahit tidak selamanya menimbulkan sakit. Kau juga seharusnya banyak belajar dari teh. Yang manis-manis belum tentu membuatmu sehat," ujarmu, tak terbantahkan.

"Kau selalu menang soal perdebatan, Segara," kataku menyerah.

Pelayan itu datang lagi. Mengantarkan pesanan kita berdua. Kita larut dalam pikiran masing-masing sembari menikmati secangkir kopi dan teh yang sempat membuat kita berdebat. Kau kembali memandang ke arah jendela, yang membuatmu dapat melihat sebagian dari pemandangan pantai. Dari sini, kau juga bisa melihat tempat di mana kita biasa berdiri.

"Cinta itu ... rumit. Terlalu rumit hingga membuatku tak bisa memahaminya," ujarmu pada akhirnya.

"Mengapa kau berkata begitu?" tanyaku, bingung dengan pernyataanmu yang begitu tiba-tiba.

"Namanya Rinai Ajingga. Orang biasa memanggilnya Jingga, tapi aku lebih senang memanggilnya Rinai. Dia ... cinta pertamaku. Dan mungkin juga patah hati terhebatku. Aku bertemu dengannya di pertengahan tanggal kabisat, lalu aku jatuh cinta padanya. Awalnya aku hanya menjadi pengagum rahasia seperti yang biasa dilakukan oleh orang-orang pengecut. Tetapi aku sadar, cinta itu butuh perjuangan. Dan aku memperjuangkan dia habis-habisan."

"Lalu?" tanyaku tak sabar dengan kalimat selanjutnya.

"Lalu, kami berpacaran. Kau tahu bagaimana rasanya saat orang yang kau cinta juga membalas perasaanmu? Indah bukan? Aku merasa jika aku adalah manusia yang paling berbahagia di bumi. Banyak yang bilang jika aku dan Rinai sangat serasi. Banyak juga yang bilang, jika kami ditakdirkan untuk bersama. Ahh, mengenang itu membuatku ingin mengubur diriku hidup-hidup. Kami berpacaran cukup lama. Tapi, semakin hari aku merasakan perbedaan dari Rinai. Dia tak seekspresif biasanya. Dia lebih pendiam, dan sering mengabaikan pesanku."

Kau berhenti. Menarik napasmu sebentar, kemudian melanjutkan.

"Aku pikir dia sedang sibuk, maka aku membiarkannya saja. Bukankah duniamu tak hanya tentang pacar saja? Tapi, semakin hari tingkahnya semakin membuatku bingung. Dia seolah menyuruhku untuk pergi, dan suatu waktu dia seolah menahanku. Kau tahu, Sera? Aku sudah mulai mencium aroma-aroma perpisahan. Tetapi aku hanya diam. Menunggunya untuk menyuruhku pergi dari hidupnya. Banyak orang yang berkata bahwa Rinai bermain di belakangku. Tapi, aku tak peduli dengan hal itu, Sera. Yang penting aku masih memilikinya. Dan dia masih berada di bawah radarku. Aku ... bodoh, bukan?" ujarmu. Aku menangkap nada sedih dari ucapanmu. Lalu aku menunggumu untuk melanjutkan lagi cerita itu.

"Hingga akhirnya aku sendiri yang memberanikan diri untuk membuka tabir perpisahan itu. Aku bertanya tentang berita simpang siur itu, tapi dia hanya diam. Ahh, diam adalah salah satu jawaban yang paling menyakitkan. Dia tak menyuruhku pergi, tapi justru dia yang pergi meninggalkanku. Sendirian, tanpa menitipkan jawaban pasti di antara hembusan angin."

Kau mengakhiri ceritamu dengan getir. Berusaha terlihat tegar. Tapi aku tahu. Kau rapuh, Sega. Masih sangat terlalu rapuh. Bahkan kini aku yang menjadi takut. Bagaimana jika, aku juga berpotensi menyakitimu? Membayangkan saja, sudah membuat bulu kudukku merinding.

"Dengan siapa dia pergi?" tanyaku.

"Dengan cinta pertamanya yang sempat ia tolak hadirnya dahulu," jawabmu. Pelan.

"Kau benar, Sega. Cinta itu memang buta. Ia tak memilih dengan siapa kau harus jatuh cinta. Bagaimana cinta itu bekerja, kau bahkan aku takkan tahu. Itu misteri. Tapi, seharusnya kau menyiapkan sedikit ruang di hatimu saat kau memutuskan untuk jatuh cinta. Mengapa? Sebab, ketika cinta menghancurkanmu, kau masih punya ruang untuk bangkit lagi," kataku, mencoba menguatkanmu juga menguatkanku.

Aku menoleh menatap jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 18.15 WITA. Dengan sigap, kukeluarkan selembar uang lima puluh ribu, menaruhnya di atas meja.

"Maaf Sega, tapi aku tak bisa berlama-lama. Aku pamit. Sampai jumpa besok," kataku, lalu buru-buru melangkah keluar. Tetapi pertanyaanmu membuatku menghentikan langkah.

"Bagaimana denganmu Sera? Bukankah kau juga sedang remuk redam, sekarang?"

"Ya. Namanya Bumi, kalau kau ingin tahu siapa yang membuatku hancur," jawabku, lalu melangkah keluar. Meninggalkanmu yang mengamati bayang-bayangku yang mulai menjauh.

Alasanku cepat pulang, adalah karena aku sudah tak sanggup lagi menahan gumpalan air mata yang siap meluncur kapan saja dari pelupuk mataku.

Maaf Segara Angkasa. Aku cemburu pada Rinai. Bagaimana cara kau mencintainya, itu tak pernah kurasakan. Rinai adalah gadis beruntung, sebab dia bisa menerima cinta yang begitu besar darimu.

Segara, kau membuatku hancur sebelum waktunya.


TAMAT


         Pengarang: Caesilia Blawa