Wanita bernama Dayu itu berlari kecil menghampiri Jendra, meraih serta mencengkeram erat lengan pria itu, berusaha untuk menyalurkan sakit hatinya yang teramat menyayat hingga perlahan tubuhnya pun ikut luruh. Jendra menangkap sudut lengan Dayu, menopangnya dari tanah dingin tak berperasaan tempat orang-orang itu menghakimi hubungan mereka.

"Jika di kehidupan ini hubungan kita dianggap sebuah dosa, maka sampai bertemu lagi di kehidupan selanjutnya." Tepat setelah mengatakan kalimat tersebut, keduanya mantap menjalankan rencana terakhir mereka; menenggak racun. Tubuh mereka terkulai tak berdaya di bawah sinar rembulan, dan tirai pun bergerak pelan menutup panggung pementasan.

Sorak tepuk tangan penonton menggema ke seluruh gedung teater, mengiringi senyuman lega nan bangga para pemain yang saling bergandeng setelah sebelumnya membungkuk bersama mengisyaratkan terima kasih. Romansa & Nelangsa, judul sandiwara kali ini, yang digadang-gadang akan mampu menandingi eksistensi drama musikal Melodi dalam Tragedi milik komunitas Ganeska--yang telah mejeng dua bulan di papan sorotan.

Pementasan selesai, kru panggung dan para pemain saling berbagi peluk bahagia karena berhasil melancarkan drama kali ini. Arane, sang pemeran Dayu, langsung dikerubungi orang-orang yang ingin berfoto bersamanya. Masih lengkap dengan kostum perannya--gaun cokelat kopi, kipas putih tulang, manik perak melingkar di kepala, dan mawar merah terselip di telinga kanan--Arane menyambut ramah semua orang.

Bahkan saking sibuknya, Arane sampai tidak peduli akan keberadaan seorang lelaki yang terus saja memperhatikannya dari bangku penonton. Hingga para kru selesai berkemas dan beberapa pemain sudah mulai pulang, lelaki tersebut tetap tak berpindah posisi.

Arane keluar dari belakang panggung dengan pakaian yang sudah berganti, menyampirkan tasnya dan berpamitan kepada teman-teman yang masih bercengkerama. Melihat itu, si lelaki tadi ikut beranjak, mengikuti Arane dengan hati-hati. Menyenyapkan langkah agar tak ketahuan, membuntutinya dalam diam sampai ke gang remang-remang di ujung jalan.

Tanpa disangka, Arane tiba-tiba memutar badan, menangkap basah lelaki tersebut yang tak sempat bersembunyi. "Kenapa kamu mengikutiku?" tanya Arane tenang.

Lelaki itu membuka tudung jaket yang sedari tadi menutupi kepalanya, memperlihatkan wajah dengan senyuman kikuk di sana. Sambil mengusap tengkuknya, dia berkata, "Ahaha, saya nggak bermaksud jahat. Saya cuma ingin berkenalan lebih dekat. Dari tadi saya cari kesempatan buat ngobrol berdua, tapi ternyata keberanian saya nggak nyampe buat sekadar nyapa kamu."

Mata Arane menajam. "Aku ingin jawaban yang terus terang."

Lelaki itu menarik napas berat. "Oke, sebelumnya, nama saya Julian. Mahasiswa semester enam di UPH, dan terus terang ... saya tertarik sama kamu."

Arane diam, berpadu dengan kesunyian malam, sama sekali tidak menunjukkan ekspresi terkejut ataupun geram.

"Saya harap kita berjodoh di kehidupan ini," imbuh Julian cepat, memanfaatkan situasi tenang yang melanda.

Sudut bibir Arane terangkat manis walau tipis-tipis, kian mendukung paras cantiknya agar senantiasa merekah. Satu langkah Arane ambil, Julian mengernyit samar. Dua langkah Arane kikis, Julian mengulum senyum. Tiga langkah Arane berpijak, gadis itu berkata halus, "Hanya ada satu kehidupan bagiku; sekarang." Arane meletakkan telapak tangannya di bahu Julian, mengarahkan matanya ke tatapan lelaki itu. "Dan sayangnya, aku sudah melihat niat burukmu sejak awal kamu masuk gedung teater."

Julian memicing bingung, menatap lurus ke dalam mata Arane yang mendadak bergulir menjadi hitam pekat. Seekor laba-laba yang lumayan besar keluar dari mata Arane, membuat jantung Julian seakan runtuh. Lelaki itu melotot ketakutan, bersikeras untuk lari tetapi hinggapan tangan Arane di bahunya malah semakin mengencang.

Arane membuka mulutnya lebar-lebar, dan sontak segerombolan laba-laba berbagai ukuran keluar dari semua lubang di kepala gadis itu; mata, mulut, hidung, juga telinga. Merambat melalui tangan Arane, menuju tubuh gemetaran Julian yang mulai berteriak histeris. Tak butuh waktu lama, seluruh tubuh Julian pun tenggelam dalam kerubungan laba-laba, menghisap jiwanya untuk kemudian diserap kembali oleh Arane sebagai syarat awet muda.

Setiap jiwa bernilai tiga tahun, yang berarti Arane akan terlihat seperti gadis umur tujuh belas tahun--dari yang awalnya dua puluh tahun. Raga Julian terbaring kosong, tanpa luka, tanpa darah, dan tanpa jiwa. Seluruh pasukan laba-laba juga telah kembali masuk ke tubuh Arane yang kini berbalut baju kedodoran.

Sebenarnya ini belum waktunya mencari mangsa, tetapi niat jahat Julian terlanjur memancing anak-anaknya. Hahh ... dasar manusia! Kenapa sulit sekali menahan? Padahal jika tidak melakukannya pun tak rugi apa-apa.

Jadilah sekarang Arane harus mencari alasan keluar dari komunitas teater, berpindah tempat tinggal, lalu menyesuaikan diri menjadi remaja. Untung saja dirinya mampu menggiring Julian ke gang ini, yang kanan-kirinya didindingi oleh gedung pabrik dan batas sawah, jadi Arane tak perlu memusingkan teriakan minta tolongnya tadi.

Senyuman Arane mengembang lebar bak seorang gadis remaja pada umumnya. Di kehidupan dulu, sekarang, dan nanti, Arane tetap akan selalu ada. Karena dirinya hanya punya satu kehidupan, yang tak pernah berakhir dan tak pernah menua.

 

TAMAT


Pengarang: Kiki Ania