Pernahkah
kalian membayangkan, bagaimana rasanya berada di dimensi lain? Mungkin banyak
sebagian orang yang tidak mempercayai, bahkan menganggap kalau hal itu hanyalah
takhayul semata. Tetapi berbeda dengan diriku, yang sekarang sudah menyakini
bahwa kehidupan makhluk astral di dimensi lain itu ada. Rasanya sulit
dibayangkan, jika seseorang seperti diriku ini bisa masuk ke gerbang astral
tersebut. Aku menyebutnya dengan gerbang antar dimensi.
==========
Kejadian ini terjadi dua puluh tahun yang lalu, saat usiaku masih menginjak enam tahun. Kalian bisa membayangkan, bagaimana aktifnya anak kecil yang masih polos harus terjebak di dunia astral tersebut sendirian tanpa ada orangtua atau teman di sekitarnya. Melihat sosok-sosok yang aneh untuk pertama kalinya adalah suatu hal yang sangat luar biasa bagi diriku.
"Mah, Sehan main dulu ya," ujarku kepada Mamah yang sedang sibuk membereskan rumah.
Mamah membalas, "Jangan sampai maghrib, Han. Malam jumat loh ini."
"Siap, Mah."
==========
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Aku bersama dengan Reza, Adi, Agus, serta Anton bermain petak umpet di sekitar kebun pisang yang letaknya paling ujung Desa Cupang.
"Hompimpa ... siapa yang bakal jaga ... jreng!"
"Sehan, kamu jaga."
Kemudian Reza menimpali, "Kita mainnya dibatasin ya, pokoknya sekitar kebun pisang sampai dengan tugu batas desa di depan ya."
Kami semua mengiakan perkataan dari Reza. Karena umur dia empat tahun lebih tua dari kami semua.
Aku mulai menutup mata sambil menghitung mundur dari dua puluh sampai satu.
"Dua, satu ... kalian di mana? Jangan sampai ketahuan ya," ujarku yang penuh semangat.
Kalau dipikirkan cukup aneh, anak seusia kami main petak umpet di area kebun pisang. Karena di desaku pada saat itu, area kebun pisang milik Pak Johan—Kepala Desa Cupang, menjadi tempat favorit anak-anak untuk bermain. Tempatnya yang adem, serta terdapat pos ronda menjadi tempat yang nyaman dan aman menurut kami. Di sebelahnya juga terdapat sungai yang konon katanya, warga setempat sering melihat penampakan saat mereka mencuci di pagi hari.
==========
Aku melihat disekitar, mulai mencari tempat persembunyian teman-temanku. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari pos ronda. Dalam benakku, itu pasti Anton. Karena dia selalu menjadi yang pertama ketahuan jika bermain petak umpet.
"Anton, kena kau!"
Dan ternyata bukan Anton. Tidak ada siapa pun di tempat itu.
"Oke, kali ini aku harus fokus."
Hampir lima menit dari tugu selamat datang sampai kembali di kebun pisang, hasilnya tetap saja nihil. Tumben sekali, diriku merasa capek begini.
"Han... Sehan... Sehan, sini Nak."
Betapa terkejutnya aku setelah melihat Mamah berdiri di samping sungai.
"Mamah, ngapain di sini? Iya nanti Sehan pulang kok kalau udah selesai mainnya."
Belum sempat aku berpaling memandang Mamah, tiba-tiba beliau langsung menghilang begitu saja. Bulu kudukku merinding dan langsung lari menuju ke rumah. Sial, baru saja aku lari, langsung tersandung kerikil masih di area pohon pisang.
Aku masih ingat jatuh dalam posisi tengkurap. Apalagi kakiku langsung lecet dan keluar darah. Lantas, diriku yang masih polos pada saat itu langsung menangis.
==========
"Han, ayo bangun. Kita pulang!"
Seketika Reza langsung berdiri di hadapanku. Dan saat aku berdiri, sudah berada tepat di depan rumahku. Kalau dipikir lagi memang aneh, diriku yang jatuh di area kebun pisang, lalu Reza yang langsung berada di hadapanku serta tepat berada di depan rumah merupakan hal yang tidak bisa dijelaskan pada saat itu.
"Terima kasih, Bang Reza."
Aku langsung masuk ke dalam rumah. Sambil menahan sakit, pintu kubuka. Betapa terkejutnya aku, rumah yang sederhana seketika berubah menjadi mewah, layaknya istana di negeri dongeng.
Tempat ini bersih sekali, ucapku dalam hati. Tiba-tiba ada sesosok anak kecil yang menghampiriku.
Sepertinya, tempat ini asyik juga. Anak kecil yang menyambutku juga sangat ramah.
Aku berjalan menyelusuri rumah mewah tersebut, banyak sosok anak-anak berlarian di dalam rumah. Aku tidak sempat menghitungnya, sepertinya lebih dari sepuluh anak yang berlarian di dalam rumah ini. Tetapi, anak tersebut memiliki bulu yang lebat serta hitam. Dari lantai atas, aku yakin sosok ini adalah ibu dari anak-anak di rumah ini.
Tanpa perasaan takut, aku langsung diajak menuju meja makan dan ikut makan bersama keluarga tersebut. Pintu di rumah ini juga sangat banyak dan ruangannya pun sangat luas.
Sepertinya aku sangat nyaman berada di sini, gumamku dalam hati. Setelah makan bersama selesai, aku diajak dengan salah satu anak mereka yang menurutku cukup unik, sosok ini layaknya seperti anak-anak manusia dikarenakan bulu di sekujur tubuhnya tidak terlalu lebat. Dia memperkenalkan namanya dengan Darto.
Aku diajak berkeliling. Tiba-tiba ada sesosok yang membuat diriku ketakutan. Kata Darto, sosok itu adalah salah satu sosok dari koloni pocong.
Mukanya yang begitu seram, membuatku semakin tidak betah berada di istana yang besar ini, yang ternyata banyak koloni lainnya yang menempati tempat ini. Pikiranku sekarang, hanya ingin pulang bertemu teman-teman dan juga orang tua tapi aku tidak tau jalan keluar dari tempat ini.
==========
Setelah hampir lamanya aku berada di tempat mewah ini, akhirnya aku berhasil keluar. Entah apa yang bisa membuatku keluar dari tempat ini. Yang kuingat ada banyak suara yang memanggil namaku di luar sana. Aku terkejut, saat keluar ternyata rumah mewah tersebut sudah tidak ada, yang kulihat hanya kebun pisang saja.
Aku langsung berlari menuju rumah. Betapa terkejutnya Mamah serta Bapak yang langsung menyambut dan memelukku dengan erat. Kata Mamah, aku tidak pulang hampir seminggu lebih. Tak kusangka pasca kejadian tersebut, aku langsung dibawa ke orang pintar setempat. Aku juga sudah sadar, diriku memasuki dimensi lain sejak melihat sosok-sosok yang tak wajar menurutku.
Aku
masih bersyukur, kejadian yang kualami tidak berlanjut. Aku masih bisa pulang
hingga saat ini. Walau kini, aku tidak bisa melihat dunia metafisika tetapi aku
mempercayainya bahwa dunia gaib itu memang ada. Di mana pun aku berada, sopan
santun selalu kujunjung. Karena hidup di dunia ini selalu berdampingan dengan
alam ataupun mereka yang tak kasat mata.
Pengarang: Ahmad Ghufron
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~