Sabin, sosok perempuan yang tomboi dan malas. Tapi masih ada salah seorang teman yang mampu dan mau berteman dengannya. Ya, dia adalah Sila. Sila selalu mengerti sifat Sabin.

Pagi hari menyapa dunia. Gemercik gerimis di jam bangun tidur membuat badan Sabin semakin malas untuk bangun. Dalam pikirannya, dia selalu meminta tambahan waktu untuk jam tidurnya. Rasanya susah sekali bangkit dari tempat tidur untuk bangun pagi, dia seperti tidak ingin hidup di setiap pagi hari.

Waktu menunjukkan pukul 07.15 WIB. Sabin harus mengalah dengan keadaan yang selalu menututnya menjadi seorang mahasiswa.

"Sabin, cepetan temenmu udah nungguin! Jgn lama lama,” ucap ibu Sabin.

"Iya bentar, Mah, suruh tunggu aja di depan,” sahut Sabin.

"Bentar ya, Sil, duduk aja dulu sini. Kebiasaan Sabin kalo bangun harus Ibu panggil sepuluh kali dulu baru dia bangun.”

"Iya, Bu. Gapapa Sila tunggu.” Dengan nada halusnya Sila tidak pernah bosan menunggu Sabin.

"Mah, Sabin berangkat dulu ya,” pamit Sabin sambil membawa ransel hitamnya.

Meskipun di dalam mulutnya masih terdapat roti yang sedang dikunya. Dia tidak lupa untuk bersalaman dengan ibunya. Begitu pun temannya, Sila. Yang juga ikut berpamitan.

Yuk ... capcus!

"Sila berangkat dulu ya, Bu,” ucap Sila yang berada di belakang Sabin.

"Iya hati hati di jalan.”

Setibanya di sekolah, ternyata belum ada Dosen yang masuk.

"Dosen tidak masuk ya hari ini?” tanya salah satu temannya.

"Kayaknya si gitu,” sahut teman lainnya.

"Eh, tapi tungguin aja, siapa tau dateng.”

Dua jam sudah, para mahasiswa menunggu. Kebanyakan dari mereka yang menganggur tidak jelas. Sebagian mahasiswa ada yang pulang dan ada yang tetap betah berada di sekolah. 

Namun, Sabin tidak sabar akan penantiannya yang tidak berguna dan membuang banyak waktu.

"Sil, gua pulang aja deh. Lo bilang ya kalo ada Dosen nanti gua balik,” bisik Sabin dengan nada yang pasrah akan penantian.

"Iya, Sab. Nanti gua kabarin deh. Gua mau tetep di sini aja sambil nonton drakor,” jawab Sila sembari tetap menatap laptopnya.

"Yauda deh, gua cabut ya.”

Selang sepuluh menit, tiba tiba Dosen datang. 

"Siang!"

"Siang, Pak,” salam mahasiswa yang berada di kelas.

"Yang lain pada ke mana?"

"Ada yang masih di luar, Pak.”

"Baik, hari ini kita mulai mata kuliah ya. Bapak tunggu lima menit kumpul di perpustakaan. Nanti ada materi baru yang mau kita bahas,” kata Dosen.

Teman teman yang berada di kost, kantin, musola, dan kelas segera bergegas menuju perpustakaan. 

Sila yang diberi amanah, dia segera menghubungi Sabin. Namun ponsel Sila tiba-tiba eror, tidak bisa dinyalakan. Sila ingin meminta tolong ke teman lain. Namun Dosen keburu datang dan mengajar. 

"Eh siapa lagi yang belum datang?" Bisikan kecil yang terucap pada setiap mulut mahasiswa.

"Udah semua deh.”

"Em … kaya ada yang kurang.”

"Sabin belum datang. Tolong dong, ada yang bisa kabarin nggak?” Mohon Sila kepada teman temannya.

Riri, salah seorang mahasiswa yang akhirnya menghubungi Sabin. Berkali-kali dia mencoba menyambungkan telepon pada Sabin, namun tidak ada jawaban darinya. Sila yang diberi amanah merasa tidak tenang. 

Pembelajaran mulai berlangsung dan akan berakhir.

"Baik. Pertemuan kali ini saya akhiri.”

Setiba di rumah, Sabin mengecek ponselnya lalu dia segera menuju ke kampus kembali.

Saat tiba di perpustakaan. Sabin datang dengan mata yang terbelalak dan cemas. Karena dia melihat bahwa  pembelajaran sudah berakhir.

"Yah kamu telat, Sabin,” kata salah seorang temannya.

"Hah, udah selesai?” tanya Sabin dengan matanya yang melebar.

"Iya, udah pergi Dosennya.”

Sabin melirik Sila, begitu pun Sila juga membalas lirikannya dengan tatapan yang memucat. Lalu Sila mendekati Sabin.

"Sab, gua minta maaf ya tadi hape—"

Belum selesai Sila menjelaskan, Sabin bergegas meninggalkan Sila. Sila pun mengejar Sabin.

Tiba tiba ada seorang laki-laki yang menghalangi Sila di depan pintu perpustakaan.

"Udahlah, nggak usah dikejar. Biarin dia marah.”

"Ih, apa sih lo, awas nggak!" tegur Sila dengan kondisi yang sedang terburu-buru mengejar Sabin.

"Ish, santai dong!”

"Minggir lo, gua mau ngejar Sabin!" bentak Sila dengan nada kesalnya.

"Iya deh iya…," ucap laki-laki itu.

Tidak seperti biasanya, Sabin seperti mengacuhkan Sila. Berkali-kali Sila meminta maaf, tapi Sabin tidak peduli akan ucapan Sila. 

"Sab, lo dengerin gua dulu. Lu kenapa gini sih? Kan gua nggak sengaja nggak kabarin lo. Soalnya hape gua tiba-tiba mati, Sab.”

Tanpa mendengarkan sepatah kata dari Sila, Sabin mempercepat jalannya.

"Sab, dengerin gua, Sab. Gua minta maaf!"

"Bang ojek!" 

Sabin meninggalkan Sila di depan pangkalan ojek tanpa memberi sepatah kata sebelum dia pegi. Sila pun terus menerus menyalahkan dirinya.

Sepulang dari kampus. Sabin merenung di kamarnya. 

Kenapa gua sebegitu marahnya ke Sila, ya? tanyanya dalam hati. 

Padahal, Sila nggak salah. Malah justru Sila yang meminta Riri ngabarin gua. Masa cuma gara-gara ini gua musuhin Sila sih? ucapnya yang lagi lagi berdiskusi dengan hatinya.

Keesokan harinya Sila tetap ke rumah Sabin untuk berangkat bersama dan tidak lupa Sila meminta maaf berkali-kali kepadanya. Di situlah, Sabin merasa bahwa teman yang selalu ada dan sabar akan sifatnya adalah Sila. Begitupun Sabin, dia juga meminta maaf. Dia merasa bersalah karena telah menyakiti hati Sila dengan sikapnya kemarin. Akhirnya mereka kembali berdamai dan tetap saling mengerti satu sama lain.


TAMAT


        Pengarang: Iip Fatihah