Sebuah kisah dari perjalanan
panjang yang belum sampai hingga saat ini.
Namaku Ifah. Sosok perempuan
yang tidak begitu paham akan jati diriku.
Apakah aku introvert, ambivert,
atau bahkan textrovert? Yang sangat asik jika berada di dunia maya, namun
sifat aslinya pemalu. Yang jelas aku bukanlah seorang extrovet, yang mampu berbicara
banyak dan selalu dikelilingi banyak teman di sekitar.
Kisahku yang rumit karena
terlalu lama tidak dibereskan. Aku memang sangat malas jika harus masuk ke
dalam ruang rasa. Karena sudah begitu banyak rasa yang tertunda. Seharusnya aku
bereskan terlebih dahulu, mana yang harus dikenang dan mana yang harus
dibuang.
"Hei, Manusia Perasa!" Kata-kata yang selalu muncul dalam tiap manusia yang telah
kutemui.
Sebenarnya aku hanya memiliki
satu perasaan. Namun, begitu banyaknya rasa lain yang juga ikut tumbuh sendiri
tanpa diminta.
Aku merupakan seorang pelajar
di SMA Bunga Pertiwi. Sekolah yang terdapat banyak sekali laki-laki tampan,
beretika, serta sopan.
Pada suatu ketika, aku ingin
menemui Pak Didi, karena ada salah satu urusan pembayaran pendaftaran yang
hendak kulunaskan.
Kemudian ada salah seorang guru
lewat di depanku.
"Permisi. Pak, mau nanya
ruang guru di mana ya?" tanyaku sembari berlagak sopan.
"Mau nyari siapa?" balas guru tersebut.
"Mau nyari Pak Didi, Pak.
Di mana ya ruangannya?" tanyaku.
"Oh, lurus aja. Ada tangga
kamu belok kanan."
"Oh ... iya baik, Pak.
Terima kasih."
Setelah itu, kuselesaikan beberapa
urusanku. Lalu, aku masuk ke kelas dan menunggu guru baru untuk mengisi kelas
hari ini.
Tak kusangka yang masuk kelas
hari ini adalah guru yang tadi kutemui.
"Eh, masih muda ya
gurunya," gumam Febri.
"Iya kok cakep ya," sahut temannya yang juga ikut memuji si guru itu.
"Ih apaan si kalian, lebay
deh," bantahku.
"Kamu kan minus, jadi ngga
bakal paham mana yang cakep," ledek temanku Intan.
Pertama kali kumengenalnya, aku
merasa paling buruk di antara teman-temanku yang lain. Untungnya belum ada rasa
yang tumbuh dalam hati kecil ini.
Ketika awal dia bercerita, lalu
kerap kali terdengar lucon dari sudut bangku. Tapi entah mengapa saat itu juga,
masih kuabaikan ceritanya, tak pernah kuhiraukan sama sekali dia sedang
beranjak pergi pun aku persilahkan untuk tidak usah kembali. Mungkin karena satu
dan lain hal yang sudah pernah kusebutkan di awal, bahwa aku belum
mencintainya.
Hingga tiba masanya rasa itu
benar benar menjadi ada setelah kupakai kacamata di ruangan kosong yang
mungkin tak mengerti juga apa yang sedang ada di dalam isi pikiranku.
Dia adalah guruku. Namanya Pak
Rito. Guru mata pelajaran Seni Budaya. Dia salah satu guru yang termasuk dalam
barisan guru-guru muda di antara guru-guru lain. Wajahnya yang tak begitu
tampan, namun aku tertarik akan ciri khasnya. Batik berwarna maroon, serta
lengan baju yang ditekuk tiga perempat, ditambah lagi dia kenakan jam tangan
hitam di pergelangan tangannya.
Sepertinya ada angin asmara
yang berbisik mengelilingi area telingaku. Angin itu seperti menunjukkan bahwa
aku harus peduli kepada orang yang berada di depanku. Dia salah seorang guru
yang pertama kali masuk dan memperkenalkan dirinya.
Dalam benakku berpikir,
"Mengapa aku begitu mudah mencintainya? Aku tidak ingin seperti temanku
yang lain. Begitu mudahnya mengatakan ketampanan seorang laki-laki." Aku bergumam dalam hati.
Perkenalan siswa telah
berlangsung. Salah seorang temanku menepuk pundakku dari belakang.
"Fah, maju! Giliran kamu
tuh," ujar Intan.
"Aduh belum siap
nih," sahutku.
"Emang apa yang harus kamu
siapin, Fah? Tinggal maju doang!" kata Febri.
"Iya iya ... Aku maju
sekarang."
Aku kembali duduk di bangkuku.
Seketika napasku terengah. Begitu cepatnya detak jantungku. Serasa ingin lepas
dari bagian organ tubuh lain.
Sampai tibalah waktu yang
sangat tak bisa digariskan, aku begitu benar mencintainya saat ini. Tepat
setelah perkenalan itu. Lalu kucoba memakai kacamataku. Setelah kukenakan
kacamata, memang nyatanya dia tampan karena usianya yang masih muda.
Tiada hari tanpa kutunggu Pak
Rito. Dalam hamparan waktu yang terasa lama, dia mengajar di kelasku hanya
sekali dalam seminggu. Itu pun hanya dua jam. Segalanya aku persiapkan sebelum Pak
Rito masuk kelas.
Bel berbunyi. Semua murid masuk
ke kelasnya masing masing. Tak lama, dari kejauhan aku mencium bau-bau Pak
Rito, dan benar, dia datang lebih awal dari guru-guru lainnya yang pernah
mengajar di kelasku.
Pak Rito menulis materi pada
papan tulis. Dan semua murid terdiam tiada satu pun yang berkata. Kecuali hanya
keributan dari kelas sebelah.
"Ih, Fah, liat deh!"
"Hah kenapa?" tanyaku.
"Tulisan Pak Rito mirip
banget sama tulisanmu, Fah."
"Ngga usah ngarang
lo!"
"Bener kan, Feb?"
"Iya sih, agak mirip"
Aku mencoba menelaah lagi
tulisanku, dan benar. Tulisanku seperti tulisan Pak Rito saat dia menulis di
papan tulis.
Pada saat itulah. Intan selalu
mencomblangkan aku dengan Pak Rito. Dia ingin sekali aku dianggap anak emas Pak
Rito.
Kali ini aku tidak lagi secuek
awal pertama masuk. Aku semakin peduli akan semua yang berhubungan dengan Pak
Rito. Aku berusaha mempertahankan tulisanku agar tetap mirip dengan tulisan Pak
Rito. Harapku, jika suatu saat ada pengecekan buku, Pak Rito suka dengan
tulisanku.
Jam mata pelajaran Seni Budaya
telah berakhir. Sekarang waktunya Pak Rito pamit akan kesudahannya mengajar
hari ini.
Kupandang sudut bangku. Yang kuanggap istimewa jika di atasnya adalah Pak Rito, guruku. Dalam ruang kosong,
namun terisi banyak orang. Teman-teman yang lain tak pernah kuanggap. Yang
kuanggap hanya aku dan Pak Rito. Tapi tanpa mereka aku dan Pak Rito tidak akan
bisa bersama di tempat tersebut.
Pagi hari sekali. Aku sangat
malas jika memakai kacamata minusku dari rumah. Kacamata sebagai alat yang
terpenting untuk aku melihat papan tulis. Biar kusimpan dulu dalam tas. Aku
lewat depan ruangan yang berisi dua guru itu. Yang kulihat dari jauh. Aku
melihat Pak Rito di dalam ruangan itu.
Sekarang kutahu. Memang benar,
tadi pagi Pak Rito-lah yang berada di dalam ruangan itu. Bersama seorang guru
lain yaitu Pak Anas. Aku merasa bersalah pernah menyalahkan kacamataku saat
ada Pak Rito di depan mataku, tapi aku tidak begitu jelas melihatnya. Kuharap,
semoga dia yang begitu jelas melihatku. Doa kecil yang selalu terucap di hati
bilamana aku melihatnya dari jauh. Suatu ketika, terpikirkan dalam benakku dia
adalah orang yang berbeda dari yang lain, tak sama. Memang begitu keadaannya.
Dalam kata rela, kerap kali
kucoba memastikannya ada, kucoba pergi ke tempat tongkrongannya memastikan
bahwa dia masih ada di bumi sebagai manusia.
"Andai Pak Rito masih
muda. Pasti cocok banget sama kamu, Fah."
"Intan! Apaan sih kamu
ini!"
"Bener nggak, Feb?"
Febri seolah menjelma sebagai
ekor Intan, dia selalu mengiyakan apa pun yang Intan katakan.
Seminggu kemudian. Pak Rito
hadir seperti biasa. Mataku yang mengklaimu jika Pak Rito punya ciri khas
dengan batik maroon-nya. Namun, aku tidak tahu yang sebenarnya. Dia juga memakai
seragam lain di saat hari hari lain yang pastinya bukan hari di mana aku diajar
olehnya.
Pak Rito mulai memberikan tugas
demi tugas.
"Tugasnya kurang
nggak?" tanya Pak Rito kepada siswa.
"Aduh Pak, ini juga belum
selesai."
"Kurang banyak Pak, segini
mah."
"Huuu ... apa sih sok-sokan
banget!"
Aku tidak pernah pedulikan
keributan di dalam kelas. Tugasnya memang sulit. Aku sampai takut jika aku
sendiri yang paling akhir mengumpulkan. Tapi aku yakin bisa. Aku berpikir keras
hingga tanganku dingin ditambah hadirnya grogi. Keningku basah karena keringat.
Kurasakan setiap aliran keringat yang akan menetes ke dalam buku namun tak
telat kucegah agar tidak jatuh.
Waktu akan segera berkahir.
Namun tidak ada satu pun siswa yang mengumpulkan tugas. Akhirnya selesai
juga tugasku, aku bangga kepada diriku. Aku mampu mengerjakan soal sesulit itu.
Lalu kusegera menutup buku.
Kulihat Pak Rito dia sedang
menatapku. Lalu dia mendekat ke arah mejaku.
"Udah?"
"Sudah, Pak," sahutku.
Dia menarik bukuku, lalu
berbalik arah kembali ke mejanya untuk mengoreksi. Sebagian teman-teman melirik
ke arahku.
"Fah, kamu yakin
udah?" tanya teman di belakangku.
"Iya udah."
"Ih, kok cepet banget
sih."
"Segitu lamanya. Kalian
pada belum juga?"
"Hehe iya, males banget
gue ngerjain soal ini."
"Ayo dong kerjain!".
Pak Rito memanggilku. Semua
teman-teman tertuju pada perjalananku menuju meja guru. Rupanya setelah dia
baca jawabanku. Lalu dia memintaku untuk ke depan dan dia mengoreksi agar aku
tahu letak kesalahan dari jawaban itu.
Bel istirahat telah berbunyi.
Semua siswa tetap tidak ada yang mengumpulkan tugas dari Pak Rito.
"Baik, yang lainnya
ditunggu minggu depan ya!"
"Siap, Pak." Serentak
semua menjawab.
Jantungku semakin kencang
berdetak, tanganku semakin dingin dan basah. Aku tidak rela dia meninggalkan
ruangan kita.
"Cie cie ... ngapain aja
tadi?" ledek Intan.
"Duh Intan, grogi
tau...."
"Itu tandanya kamu suka ke
Pak Rito."
"Ah, enggak juga." Aku
dalam kepura-puraan.
Hingga hari-hari ke depannya aku
berhasil membuat Pak Rito bangga kepadaku. Dia mulai sering menunjukku maju ke
depan. Aku dengan lagak rajin mengerjakan tugas yang diperintahkan Pak Rito dan
mengumpulkannya lebih awal dibanding teman temanku yang lain.
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~