Pagi cerah menyapa bumi. Mentari seolah tersenyum membuka
hari ini. Dengan paduan awan putih membuat kesan cantik pagi ini. Seorang gadis
cantik dengan seragam putih abu-abu bersenandung kecil tak lupa senyum yang
menghiasi wajah ayunya. Dia adalah Luna Agatha. Luna adalah gadis dengan segala
tingkah yang membuatnya disebut Happy Virus oleh teman-temannya.
"Luna!" teriak seorang cewek yang berlari
mendekati Luna.
"Eh hai Sya," sapa Luna singkat, senyuman itu
masih setia menghiasi wajahnya.
Fasya Claretta, teman seperjuangan Luna sekaligus
sahabatnya sejak SD. Fasya sangatlah baik. Tidak hanya baik, dia juga seorang
gadis cantik dan pintar. Tak heran banyak sekali laki-laki yang mengejarnya.
Tetapi entah kenapa, tidak ada satu pun laki-laki yang dilirik oleh Fasya.
Fasya sudah Luna anggap sebagai saudaranya sendiri. Susah
senang mereka selalu bersama. Satu masalah bagi mereka menjadi dua masalah.
Sampai-sampai mereka berdua dikira sebagai anak kembar. Memang ya, sahabat
sudah sangat dekat memang terkadang terlihat mirip.
"Luna!" panggil seorang cowok membuat mereka
berdua refleks menengok ke sumber suara.
Cowok itu tengah berjalan mendekati Luna dan Fasya. Fasya
menatap cowok itu bingung.
"Gue tunggu di kantin!" ucapnya yang sudah
berdiri tepat di hadapan Luna.
"Kapan? Untuk apa? Sendiri atau berdua?"
"Sekarang," ucap cowok itu tersenyum sangat
singkat.
"Sendiri atau berdua?" tanya Luna yang membuat
Azka Geovano gemas.
"Berdua sama Fasya juga boleh," jawab Azka
sambil mengacak rambut gadis Happy Virus di hadapannya.
"Eh? Maaf gue ada janji sama guru bahasa Inggris.
Udah sana kalian berdua ke kantin untuk tas lo, Lun, gue biar bawa aja ke
kelas."
"T—tapi…."
"Udah siniin tas lo. Nurut aja deh sama gue, ntar lo
nyesel." Fasya mengambil alih tas Luna dan mendorong sahabatnya itu.
"Bye ... selamat bermesraan kalian berdua!"
==========
"Ada apa?"
Luna menatap lembut wajah cowok bermata tajam yang
berstatus sebagai pacarnya.
"Udah sarapan?"
Luna menggeleng cepat dan berkata, "Belum. Tadi
keburu biar nggak terlambat."
Azka mengangguk lalu pergi meninggalkan Luna seorang
diri. Tampaknya cowok tersebut memesan sebuah makanan. Tak lama kemudian dia
membawa satu mangkuk bubur ayam dan satu gelas jeruk hangat.
"Ini dimakan," ucap Azka sambil menyodorkan
makanan kesukaan Luna. Ya, bubur ayam adalah menu sarapan favorit Luna.
"Kamu?" Luna mengernyit kebingungan.
Azka tersenyum. "Udah sarapan di rumah."
Luna perlahan menyendokkan bubur ke dalam mulutnya.
Menurut Azka gadis di hadapannya terlalu menggemaskan bila sudah berhadapan
dengan makanan terlebih lagi segala jenis bubur dan ice cream.
"Aku mau cerita kamu dengerin ya," pinta Azka
dan mendapat anggukan dari Luna.
"Kalau misalkan seseorang yang sudah sangat dekat
dengan kamu dan seseorang itu pergi meninggalkanmu. Apa kamu sedih ataupun
marah?"
"Tentu sedih. Marah cuma beberapa hari, tergantung
siapa yang pergi. Yang aku harap pasti seseorang itu kembali. Entah kapan pun
tapi aku yakin seseorang itu akan kembali," ucap Luna santai sambil
memasukkan bubur di mulutnya.
"Tapi kalau seseorang itu pergi selamanya apa kamu
akan sangat sedih?"
"Maksudnya?"
"Jawab aja dan jangan bertanya ya," ucap Azka
mencoba tenang.
Luna mengangguk. "Tentu sangat sedih, aku pernah merasakannya saat usiaku tujuh tahun. Kala itu, ibu sedang mengandung adik yang seharusnya lahir ke dunia tapi Tuhan berkehendak lain. Ibu dan bayinya meninggal. Saat itulah ayahku hidup hanya sebagai orangtua tunggal untukku. Aku yang belum mengerti keadaan hanya bisa menangis. Sampai suatu saat aku paham, ternyata ibuku telah tiada untuk selamanya."
Luna kembali mengingat
kejadian sedih beberapa tahun lalu. Tanpa sadar matanya mulai perih dan
mengeluarkan beberapa cairan bening. Dengan sigap Azka mengelus bahu pacarnya
dan mengucapkan kalimat penenang.
"Tapi ada kejadian yang tidak bisa aku lupa sampai
sekarang. Mau tahu apa itu? Tepat setahun setelah ibuku meninggal, ayahku
menikah dengan perempuan lain. Di saat itu umurku menginjak delapan tahun aku
sangat antusias menerima ibu sambungku. Ternyata jauh berbeda dari dugaanku,
ibu sambungku memperlakukanku mirip seperti kisah bawang merah bawang putih.
Ya, di mana aku yang menjadi bawah putih. Aku di p—pukul hingga tubuhku memerah.
Aku yang kala itu berniat mengakhiri hidup tetapi aku urungkan, aku tidak mau
melihat ibu sedih di atas sana. Aku bersyukur karena saat itu aku mempunyai
sahabat yang sampai sekarang setia menemaniku, Fasya." Luna tersenyum dan
menahan air matanya untuk keluar. Azka yang ingin melanjutkan pertanyaannya,
harus ia urungkan. Melihat kondisi Luna sekarang. Azka juga merutuki pertanyaan
beberapa menit yang lalu.
"Nanti sepulang sekolah mau ikut?" tanya Azka
dengan tatapan lembut. Hal itu yang sulit Luna hindari, tatapan lembut pacarnya
sering memenuhi isi pikiran Luna.
"Ke mana?"
"Sesuatu yang mungkin bisa membuatmu bahagia." Azka
mengelap air mata Luna dan menatapnya lekat. Tatapan itu seperti mengisyaratkan
tidak ingin berpisah. Mereka berdua saling beradu pandang beberapa menit.
Kring…. Kring…. Kring…!
"Eh udah bel, masuk yuk. Aku anterin sampai ke depan
kelas kamu. Sebentar aku bayar makanan sama minuman kamu dulu."
Luna mengangguk. Hari ini pacarnya bertingkah seolah ada
sesuatu. Luna menyadari semua pertanyaan Azka namun dia sendiri tidak bisa
bertanya. Mungkin bisa jadi hal besar akan terjadi. Entah itu besok atau
beberapa tahun kedepan.
==========
"Nanti aku tunggu di parkiran. Oh iya istirahat
nanti sampai bel pulang aku sibuk ya. Kalau kangen cari aja di
perpustakaan."
"Sibuk? Aih aku lupa, kamu kan harus persiapan untuk
olimpiade matematika bulan depan."
Azka tersenyum palsu. Dia hanya bisa mengangguk sebagai
jawaban. "Yaudah, belajar yang rajin biar masuk kampus bareng.
Bye…." Azka mengacak rambut Luna. Luna cemberut alhasil Azka mencubit
pelan kedua pipi Luna gemas.
"Ish, udah sana. Semangat juga big boss."
Luna mengepalkan tangan kanannya bermaksud memberi semangat.
"Ciee yang lagi seneng," celetuk Fasya dari
balik pintu kelasnya.
"Ih apa sih, Sya." Luna menutup wajahnya
menggunakan kedua tangannya. Luna rasa kedua pipinya memerah sekarang.
"Udah yuk mending duduk. Nanti Pak Roy marah
loh," ajak Luna mengalihkan pembicaraan.
"Ayo, tapi cerita ya."
"Cerita apa? Gue rasa nggak ada yang perlu
diceritakan."
"Yang tadi, kalian ngapain di kantin."
"Ya makanlah. Semua orang juga tahu, Sya kalau
kantin tempat makan."
"Bukan itu!" seru Fasya.
"Terus apa?"
"Ah lupakan topik nggak penting ini, Lun."
Luna terkekeh geli melihat sahabatnya cemberut. "Gue
sama Azka bakal jalan-jalan sepulang sekolah." Luna memberanikan diri
menceritakan ajakan Azka.
"SERIUS!" teriak Fasya dan membuat mereka
berdua menjadi perhatian seisi kelas.
"Ssst … pelan-pelan aja kalau jawab! Kuping
gue yang jadi korban," ucap Luna sambil bertingkah mengelus kedua telinganya.
"Bukan cuma lo aja, Lun. Kuping gue jadi
korban." Luna dan Fasya kompak menoleh.
"Siapa suruh lo di belakang kita," ucap Fasya
sinis.
"Lo lupa, gue kan emang duduk di belakang kalian
sekarang," ucap Bagas tersenyum smrik.
"HAH!" teriak Fasya.
"Biasa aja, dugong. Kuping gue sakit kedua
kalinya,"
"Biarin!"
"Gawat, gaes! Vano berantem di koridor dekat
perpustakaan!" teriak Aira—teman sekelas Luna dan Fasya.
"Nggak heran," celetuk Bagas dari belakang
Fasya.
"Sama siapa?" tanya Luna.
"Kalau nggak salah Azka," jawab Aira santai.
Tanpa aba-aba Luna berlari menuju tempat yang dimaksud.
Air matanya lolos begitu saja. Luna yakin ini ada hubungannya dengan dia yang
tanpa izin pergi bersama lelaki itu.
"Luna…..!" teriak Fasya berharap Luna berhenti.
Namun Luna menghiraukan teriakan itu.
==========
"STOP!" teriak Luna. Kedua lelaki itu lantas
berhenti dan memandangi gadis dengan air mata yang terus mengalir.
Azka terkejut melihat kedatangan pacarnya. Lantas, dia
menarik tangan kanan Luna untuk keluar dari kerumunan.
"Maaf." Kata itu keluar dari mulut Azka untuk
menenangkan gadis di hadapannya.
"Maaf ya. Janji deh, besok nggak akan berantem
lagi."
"Tadi aku kelepasan. Bukan bermaksud buat kamu
nangis gini, sekali lagi maaf ya. Kalau mau nangis aku persilakan, tapi jangan
marah ya."
"M—mana bisa aku marah." Luna mengelap air
matanya. Sepersekian detik, senyum manisnya kembali.
"Cantik."
"A—apa? Sekali lagi."
"Tadi ngomong apa?"
"Katanya aku cantik."
"Kapan aku ngomong begitu?"
"Barusanlah."
"Enggak tuh."
"Ih nyebelin kamu."
"Iya-iya bercanda. Kamu sangat-sangat cantik
sekali."
"Gombal."
"Ih yaudah kalau nggak percaya."
"Bukannya nggak percaya, emang aku udah cantik sejak
dulu."
"Eh ikut aku yuk." Azka menarik paksa tangan
Luna.
"Ke mana?"
"Ada pokoknya, kamu ambil tas dulu. Aku ke BK buat
izin kalau kamu sakit."
"Siap bos."
Sesampainya di parkiran. Luna mencari keberadaan Azka
terlebih dahulu. Dia bingung, kenapa motornya begitu mirip dengan motor yang
lain. Azka juga tidak ada di sana.
"Cari siapa, Neng?" ucap seseorang dari
belakang.
"Astaghfirullah, Azka. Kaget aku."
"Habisnya kamu kaya mau nyuri sesuatu."
"Ngawur ya kamu."
"Udah ayo buruan naik."
"Ya," jawab Luna seadanya.
"Mau ke mana?" tanya Luna penasaran.
"Pantai Drini gimana?"
"Kurasa ide yang bagus."
Perjalanan menuju Pantai Drini cukup memakan waktu dua
jam. Luna bersenandung kecil di balik helmnya. Menikmati keindahan alam
dalam perjalanannya itu yang sering Luna lakukan jika mengunjungi destinasi
wisata.
Jalanan cukup renggang. Mungkin karena masih jam
pelajaran dan jam-jam kerja. Desiran ombak sudah terdengar beberapa meter dari
jalanan Luna sekarang.
Setelah menempuh perjalanan yang menyenangkan, akhirnya
mereka telah sampai. Angin begitu segar membuat Luna berlari kecil sambil terus
bersenandung ceria. Azka dari belakang tersenyum kecut. Akankah dia
mengucapkannya sekarang ataukah besok. Azka tidak mau membuat gadis berhati
baik itu membencinya dan terus bersedih. Lebih cepat lebih baik itu yang selalu
terngiang-ngiang di kepala Azka.
"Luna, jangan jauh-jauh!" teriak Azka
memperingati.
"Iya, bawel."
"Awas jangan sampai kamu hilang."
"Iya tenang aja. Kamu nggak mau ke sini?" teriak
Luna.
"Tidak!" jawab Azka setengah berteriak.
"Ah ya sudah. Nananana…."
Azka bergelut dengan pikirannya. Dia tetap harus
mengatakan yang sebenarnya. Dia merasa akan terus membohongi pacarnya. Azka
berpikir sebentar. Akhirnya dia putuskan untuk menghampiri Luna dan mantap
mengatakan hal penting. Azka tahu betul apa konsekuensinya. Gadis itu
kemungkinan akan membenci dirinya.
"Luna."
"Eh ya ampun kamu ngagetin untuk kedua kalinya."
"Pertama kalinya kapan?" ucap Azka berusaha
tenang dan mencoba tetap menggoda Luna yang mungkin terakhir kalinya.
"Tadi waktu mau ke sini."
"Enggak tuh."
"Bener yang dibilang Rendy temen kamu itu."
"Emang apa?"
"Kamu gampang lupa."
"Bener-bener ya si Rendy. Awas lo, Ren," ucap
Azka yang diakhiri tawa Luna.
Keadaan tenang. Tiba-tiba rasa awkward menyerang
mereka. Luna memperhatikan Azka dari samping. Sepertinya Azka memiliki banyak
masalah yang dia pendam.
"Apa ada masalah?" tanya Luna.
"Ada yang mau aku sampaikan, Lun."
"Apa? Jangan macam-macam ya."
"Entah," jawab Azka singkat.
"Kok gitu?"
"Nggak apa-apa. Kamu dengerin baik-baik ya."
Luna mengangguk. Meskipun begitu, perasaan Luna was-was. Tidak
seperti biasanya, batin Luna.
"Sayang, mungkin kamu akan marah mendengar ini. Tapi aku harap kamu tidak akan membenciku. Sebetulnya kita tidak bisa lanjutkan hubungan ini. Jujur aku sakit melihat kamu menangis nantinya. Tapi ini memang benar-benar bukan kemauanku. Aku harus tinggal di luar negeri dan melanjutkan sekolahku di sana. Setelah lulus aku harus menikah dengan seorang gadis teman papa aku. Jujur aku kaget waktu mendengarnya beberapa minggu lalu. Aku sudah tidak menjadi siswa di SMA Ganesha sejak kemarin Senin. Lantas olimpiade matematika itu harus aku relakan. T—tapi…." Azka tidak bisa melanjutkan omongannya.
Luna langsung menghambur ke pelukan Azka. Dia menangis
sejadi-jadinya. Bahkan dia memukuli tubuh Azka beberapa kali.
"K—kamu jahat, Ka."
"Maaf. Ini bukan kemauanku." Azka membalas
pelukan gadis dihadapannya sambil mengecup kening secara lembut.
"Aku mengerti." Sejujurnya dia sangat sedih.
Tapi dia tidak boleh egois, itu sudah keputusan orang tuanya.
"Love you Luna Agatha."
Luna tidak membalas perkataan Azka. Tangisnya malah
semakin menjadi. Hari ini, hari yang dia kira indah ternyata pahit. Laki-laki
yang sudah berperan sangat penting dalam kehidupannya harus pergi.
"Nggak apa-apa, menangislah. Aku tahu ini memang
sulit, aku sudah membohongimu selama ini. Maafkan aku," ucap Azka memeluk
erat Luna.
"Tidak kamu tidak salah. Yang salah adalah keadaan.
Keadaanlah menyuruh kita tidak bersama." Luna melepas pelukan dan
menghapus air matanya.
"Aku yakin, banyak laki-laki yang bisa menjaga dan
menyayangimu dengan tulus. Berjanjilah kepadaku, kamu harus bahagia. Kamu bisa
curhat sesuka hatimu melalui DM Instagram. Kemungkinan besar nomor aku
akan ganti. Tapi tidak dengan Instagram," ucap Azka.
"Aku siap menunggu kamu kembali ke Indonesia dan
menemuiku walaupun kamu sudah memiliki pendamping hidup yang jauh lebih baik
dan cantik dari aku." Luna tersenyum dan menghapus air mata meskipun dalam
hatinya berteriak ingin sekali menangis.
"Siap, bawel. Aku juga berjanji akan menemuimu kelak.
Ingat bawalah lelaki sebagai pendamping hidupmu di hadapanku. Aku akan
menceramahinya jika berbuat salah," ucap Azka dan Luna hanya terkekeh
geli.
"Oh iya, ini ada sesuatu." Azka mengeluarkan
dua kotak kecil dari dalam tasnya lalu membukanya. Luna mengernyit heran,
mengapa dia memberikan satu kalung bertuliskan Luna dan dua gelang bertuliskan
Azka Luna.
"Ini kalung untukmu, sini aku pakaikan dan ini
gelang kita berdua. Kamu pakai yang Azka dan aku pakai bertuliskan
Luna."
"Wah, kalungnya sangat indah, gelangnya juga.
Terima kasih Azka."
"Aku juga terima kasih atas lima tahun momen yang
indah. Mana mungkin aku bisa melupakannya. Maaf aku lebih sering membuatmu
menangis, maaf juga aku telah membohongimu."
"Aaa, sungguh momen tak terlupakan," ucap Luna.
"Mari aku antar pulang," ajak Azka. Luna
menggeleng.
"Tidak, aku akan pulang sendiri. Kamu duluan
aja."
"Beneran nggak apa-apa?"
"Iya nggak apa-apa."
"Bye, besok aku jemput untuk terakhir
kalinya…."
TAMAT
Pengarang: Salma Nurul
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~