Mentari pagi
menyembul keluar di antara lekukan kedua bukit yang menghiasi kotaku. Masih
malas, karena baru bangun dari peraduannya. Sinarnya menerobos masuk ke dalam
kamarku, mulai menghangatkan tubuh mungilku. Aku terbangun. Alam mimpiku telah
rusak, terusik oleh kicauan burung yang selalu menemani pagiku. Kubuka mataku
perlahan. Kuhirup udara segar di pagi ini. Sungguh, pagi hari ini sangat berbeda
dengan pagi lainnya. Aku bergegas bangun dan membuka gorden jendelaku,
menikmati hari terakhir tinggal di kota ini.
Untuk
sementara waktu, aku akan meninggalkan segala keramaian kota ini. Aku akan
beralih ketempat dimana ada kedamaian, kesunyian, dan ketenangan yang amat jauh
dari kata keramaian. Tempat itu sangat cocok bagi setiap orang yang ingin
menyepi. Menenangkan pikiran, hati, dan batin yang sedang dirundung berbagai
masalah dalam hidup. Tempat itu adalah kampung halamanku yaitu Kecamatan
Witihama, Desa Lamabelawa. Selalu penuh dengan misteri,namun tak bisa
dipungkiri keindahan alamnya.
Kuambil
ranselku yang tergantung disudut dinding kamarku. Kemudian, segera mengambil
pakaian dan keperluan lainnya untuk berlibur. Tak lupa juga mengambil penganan
yang telah disediakan ibuku jauh-jauh hari sebelum keberangkatanku.
Aku lalu
mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Lalu, aku menyalakan shower.
Airnya yang meluncur lembut bagaikan bidadari yang senantiasa memijat tubuhku.
Gemericik bunyinya, mengingatkanku akan Wai Bele yang tak pernah berhenti
mengalir. Kupercepat mandiku. Setelah keluar dari kamar mandi, aku langsung
terburu-buru memakai pakaian yang telah kusediakan malam tadi. Aku lalu
menyisir rambutku dan membiarkannya tergerai. Dengan segera, aku menuju meja
makan lalu mencomot sepotong roti selai yang memang disediakan untukku.
“Sudah siap
perlengkapannya?” tanya ibuku.
“Iya, Bu,”
jawabku.
Tak lama
kemudian, mobil jemputan datang menjemputku. Aku lalu mengambil ransel dan
penganan yang disediakan ibuku, dan meletakkannya dibelakang mobil pick
up lalu masuk kedalam mobil.
Sampai di
pelabuhan, kapalnya telah penuh. Akhirnya, mobil membawaku ke pelabuhan Kota.
Sampai di pelabuhan, aku langsung naik keatas perahu. Berhubung penumpangnya
telah penuh, perahu pun berangkat ke Tanah Merah. Kami pun sampai di pelabuhan
Tanah Merah, ternyata mobil pamanku telah terparkir menunggu kedatanganku.
Berhubungan pamanku mengantuk dan aku tak mau duduk didepan, maka aku duduk
dibelakang mobil sambil menjaga barang-barangku. Perjalanan pun dimulai.
Sepanjang perjalanan, aku sangat menikmati pemandangan yang telah disuguhkan
padaku.
Kami pun tiba
dengan selamat dikampungku, setelah melewati jalan yang luar biasa jeleknya.
Saat menginjakkan kakiku ditanah kampung ini, tak kusadari, air mataku
merebak,jatuh berderai. Sudah lama aku tak kesini. Kali ini, aku berada disini,
menginjakkan kakiku diatas tanah ini. Pamanku lalu menurunkan barang-barangku.
Membiarkan aku terpaku menikmati indahnya kampung ini.
Selama berada
disini, aku melakukan apa yang biasa dilakukan mereka dan yang tak pernah
kulakukan dikotaku Larantuka. Mengangkat air, pergi ke kebun, pulang dengan
wajah cemong, penuh debu. Namun, aku sangat menikmati liburan ini.
Pada pagi ini,
seperti biasa aku pergi mengangkat air. Menjinjing jerigen yang akan digunakan
untuk menampung air. Namun pagi ini berbeda dengan pagi lainnya. Mataku
menangkap sosok yang luar biasa sempurna, sedang memegang spiritus untuk
dimainkan. Pada saat aku dan saudariku, Maria lewat depan dia, dia malah
membunyikan spiritus didekat kami
. Sontak saja,
aku kaget. Kuarahkan pandangan tajamku ke arahnya. Bukannya tertunduk malu, ia
malah membalas tatapan mataku. Sumpah!! Baru kali ini ada orang yang menatapku
setajam dan sedalam ini. Aku dan dia sama-sama melengos lalu beranjak memutar
arah dan pergi ke pancuran. Sedangkan dia memutar arah menuju rumahnya. Aku
masih termangu menatap kepergiannya. Namun itu tak lama. Maria segera membuyarkan
seluruh lamunanku.
“Eh Chya, kamu
suka ya sama Arsad?” tanya Maria.
“Oh, jadi nama
dia itu Arsad,” gumamku.
”Apa? Suka
sama dia? Enggaklah!” sergahku cepat.
Sejak
perjumpaan pertamaku dengan Arsad. Kami jadi lebih sering berjumpa. Namun,
setiap berjumpa dengan dia, jantung ini berdebar-debar. Ada perasaan malu bila
berjumpa dengan dia. Namun dibalik semua perasaan itu, ada sebuah perasaan yang
menyusup ke dalam relung hati ini. Entah apa perasaan ini. Aku sendiri tak tahu
bagaimana cara mengatasi perasaan ini.
Sementara itu,
Maria mulai curiga melihat tingkah lakuku yang berubah drastis. Aku mulai
berubah menjadi orang yang pendiam tak banyak bicara. Suatu ketika, saat aku
dan Maria sedang duduk dikubur nenekku, Maria langsung bertanya padaku.
“Chya, kok
kamu sekarang berubah sih?”
“Berubah
apanya? Perasaan biasa aja tuh!” sahutku.
“Udahlah,
ngaku aja… kamu suka kan sama Arsad?” selidik Maria.
Dengan
terpaksa, aku mengaku pada Maria. Mulai dari awal mula perjumpaan aku dengan
dia.
“Jadi gitu
ceritanya,” ujarku perlahan.
“Oh, begitu,”
sahutnya lagi.
Semakin hari,
rasa ini semakin tak menentu. Matanya seolah mengingatkan aku pada sosok Dhika
Siregar, sahabatku. Apalagi lesung pipinya, yang selalu membuatku kembali
memutar memori masa lalu antara aku dan Delon.”
Oh Tuhan,
mengapa disaat seperti ini, Engkau hadirkan kembali semua masa laluku? Apakah
Engkau tak ingin aku membuang semuanya itu? Biarkanlah masa lalu itu
berakhir seiring pergantian tahun ini Tuhan!” batinku.
***
Tak
terasa, waktu pun merambah berlalu. Kini, tahun 2016 sudah berada di depan mata.
Kampungku nan damai, mulai memperlihatkan keramaiannya. Para panitia persiapan
Malam Tahun Baru, mulai menyerukan agar segenap masyarakat kampung menyiapkan
masing-masing sebuah acara. Semua orang sibuk dengan acara mereka sendiri.
Begitu pula denganku. Selain sibuk dengan persiapan acara yang akan kutampilkan
bersama dengan keluargaku, aku merasa bahwa aku perlu menampilkan sesuatu,
untuk menumpahkan seluruh perasaan yang sedang tak menentu ini dan tak tahu
kapan berakhirnya segala derita ini. Akhirnya, aku memilih untuk membawakan
sebuah lagu dengan petikan gitarku yang akan membuai semua orang yang berada
ditenda acara.
Hari demi hari
berlalu. Kumantapkan niatku untuk bernyanyi, menyumbangkan suaraku untuk
kampung ini. Setiap hari aku berlatih dan terus berlatih. Makan minum selalu
kulupakan. Itulah aku! Selalu melupakan segala sesuatu yang tak boleh
dilupakan.
Akhirnya,
malam itu pun tiba. Semua masyarakat yang biasanya sibuk dengan urusannya
masing-masing, kali ini mengeluarkan batang hidung mereka satu persatu. Tak
terkecuali juga dengan Arsad. Tenda acara dengan cepat penuh, walaupun waktu
belum menunjukkan pukul 20.00 WITA. Kubur tembat dimana aku biasa nongkrong telah
terisi penuh bahkan sesak. Ada yang bahkan duduk di depan rumahku. Aku masih
didalam. Setelah pulang dari Gereja, aku masih harus makan, minum obat dan
menghabiskan sisa waktuku dengan menonton TV.
Tepat pukul
19.30 WITA, aku bergegas masuk dalam kamar. Bukan untuk tidur atau melakukan
sesuatu. Melainkan untuk mengganti baju rumahku menjadi baju acara yang telah
disepakati bersama kemarin. Aku memakai baju blues berwarna
biru tua bergaris putih, celana panjang, dan memakai sepatu sneakers berwarna
biru juga. Busana yang kupakai sangat resmi. Aku lalu menyisir rambutku dan
menatanya dengan karet unyil.
Lalu aku
menuju kamar mandi untuk menggosok gigi. Setelah mengosok gigi, aku dan Maria
menuju rumah kakakku Idha Layla untuk geladi bersama. Tak lupa juga, aku
mengambil gitar yang ku bawa dari Larantuka. Disana, kami melatih gerakan dance yang
akan ditampilkan oleh aku, Kak Idha Layla, Maria, Kak Braham, Kak Dhika, dan
Adikku Gusto. Setelah kami merasa cukup berlatih, kami pun selfie bersama
menggunakan handphone dan tongsis kak Idha
Layla.
Ramai-ramai
kami pergi mendaftar di panitia acara. Kuputar pandanganku perlahan. Mataku
menangkap sosok yang sudah tidak biasa dilihat lagi. Siapa lagi kalau bukan
Arsad. Namun malam ini, ia tampil beda. Dengan baju blues hitam,
celana panjang hitam, dan sepatu sneakers warna merah, ia
sangat terlihat tampan dan lebih keren serta cool.
Ia pun
memandang kearahku. Aku segera mengalihkan pandanganku pada tempat lain. Pura-pura
mengagumi keindahan dekorasi yang sangat menawan hati. Namun, aku merasa bahwa
ia terus menatapku. Aku pun menoleh kearahnya. Ia masih berdiri terpaku
menatapku. Ku balas tatapannya. Lama sekali kami saling menatap. Untunglah,
sebelum aku mati berdiri, Maria langsung memanggilku untuk duduk di atas bale-bale.
Sambil duduk, aku meyenandungkan lagu yang akan kubawakan sebentar. Aku
tersentak. Apakah aku telah mendaftar di panitia tentang lagu yang akan
kubawakan? Ya Tuhan ternyata belum. Untung Engkau mengingatkan aku. Aku
lalu menuruni bale-bale lalu berlari kecil. Saat hendak naik
keatas tangga Balai Desa, aku menabrak seseorang. Dia terjatuh. Kulihat
sepertinya sangat sakit jatuhnya. Aku lalu menyodorkan tanganku untuk
membantunya berdiri.
“Aduh, maaf
ya. Aku tadi buru-buru. Sorry-sorry,” ujarku menyesal.
“Iya, nggak
apa-apa kok,” katanya sambil meraih tanganku dan berusaha berdiri.
Setelah ia
berdiri, aku sangat kaget. Karena kalian tahu, aku tadi menabrak siapa?
Ternyata aku menabrak Arsad. Buru-buru aku minta maaf, karena aku memang salah.
“Hmm, maaf ya.
Tadi aku nggak sengaja nabrak kamu. Sekali lagi aku minta maaf ya,” sesalku.
“Udahlah,
nggak apa-apa kok. Lupain aja,” ujarnya lembut.
Syukurlah ia
memaafkanku. Kalau tidak, aku nggak tahu apa yang bakalan terjadi kalau ia
marah padaku. Mungkin akan menjadi tontonan menarik. Aku pun pamit padanya
untuk pergi mendaftar di panitia. Ia hanya memberikan senyumannya yang bisa
membuyarkan aku.
Namun, degup
jantung ini serasa berhenti saat ia meraih tanganku. Oh Tuhan!! Rasanya bagai
terbang diawang-awang.
“Hm,tunggu!”
serunya sambil meraih tanganku.
“Ada apa?”
tanyaku sopan. Aku pikir tanganku yang sedang dipegangnya dingin seperti orang
mati.
“Boleh tanya
sesuatu?” tanyanya padaku.Kelihatan sekali kalau ia sedang malu.
“Boleh. Mau
bertanya apa?” jawab sekaligus tanyaku.
“Boleh
kenalan?” tanyanya lagi.
“Iya, boleh,” jawabku kesekian kalinya.
“Hm… namaku
Arsad. Kalau nama kamu?” tanyanya kemudian.
“Namaku Chya,” jawabku.
“Oh, kalau
begitu sebentar kamu lihat penampilan aku yah!” pintanya padaku.
“Memangnya, kamu
mau tampilin acara apa sih?” tanyaku penasaran.
“Aku mau
nyanyi lagu buat kamu,” ujarnya malu-malu.
“Oh ya? Kalau
boleh tahu,kamu mau nyanyi lagu apa?” tanyaku lagi padanya.
“Nanti juga
kamu akan tahu,” jawabnya.
“Berarti kita
berdua sama dong! Aku juga mau nyanyi.” Kataku padanya.
“Mau nyanyi
lagu apa?” tanyanya perlahan.
“Nanti juga kamu
tahu,” jawabku sembari tersenyum.
Tak kusangka,
perkenalan itu sangat berkesan dalam hidupku. Baru kenalan, tapi kami berdua
seperti sudah saling lama mengenal. Acara pun berlangsung meriah, semeriah
hatiku. Acara yang kami bawakan mendapat aplouse dari seluruh
penonton dan panitia yang berada di situ. Apalagi, saat kak Dhika
melakukan salto kebelakang. Semua penonton berteriak histeris
melihat penampilan kami. Kami berenam seperti menjadi boyband atau girlband yang
sedang tenar. Penampilan kami berakhir, seiring berakhirnya wajah-wajah polos
yang heran menyaksikan kami tampil. Acara selanjutnya adalah pidato bahasa
Indonesia Inggris yang dibawakan oleh kakak Mario dan kakak Lena. Dengan
diiringi permainan piano oleh pamanku. Setelah acara tersebut berhasil
dibawakan, acara selanjutnya adalah sumbangan lagu dariku. Aku lalu berdiri
membawa gitarku ke atas panggung yang telah tersedia untukku. Panitia telah
menyediakan kursi. Aku lalu menduduki kursi itu. Sebelum bernyanyi, kusapu
pandanganku diantara semua penonton. Ternyata, Arsad berdiri ditengah-tengah
para penonton. Aku merasa bangga, dapat tampil dihadapan semua warga kampung
ini. Aku lalu menyapa penonton dengan sedikit basa-basi dan langsung bernyanyi.
“Selamat malam
semua warga Desa Lamabelawa yang kucinta. Malam ini aku akan menampilkan acara
yang jauh-jauh hari telah kusediakan. Sebenarnya, lagu ini kunyanyikan untuk
menumpahkan sekuruh perasaan yang sedang mendera hatiku, pikiranku dan jiwaku.
Lagu ini kupersembahkan untuk seseorang yang selalu membuat jantung ini
berdebar-debar tak menentu. Untuk kamu yang berada ditengah warga, dengarlah
syair lagu ini baik-baik!” ujarku.
Kupetik
gitarku perlahan. Sambil memetik gitarku, kulantunkan lagu indah yang lahir dari
hatiku. Lagu yang kubawakan adalah lagu dari Reyka Band, Hidup Matiku.
Lagu ini pun
sukses kubawakan. Bahkan, ada beberapa warga yang meneteskan air mata saking
sedihnya caraku membawakan lagu ini. Tak lama kemudian, ia pun tampil. Namun ia
langsung duduk di kursi piano dan membawakan lagu dari Al Ghazali yang
menjadi soundtrack Anak Jalanan. Aku pikir, mungkin karena
namanya Arsad. Lagu yang ia bawakan sangat menyentuh hatiku. Apalagi saat ia
sampai direfrein lagu itu.
Mau
bilang cinta tapi takut salah....
Bilang
tidak ya? Bilang tidak ya?
Mau
bilang sayang tapi bukan pacar....
Tembak
tidak ya? Tembak tidak ya?
Lagu yang ia
bawakan pun sukses dengan alunan piano yang ia mainkan. Sebenarnya, aku bisa
bermain piano. Namun, aku lebih memusatkan perhatianku untuk gitar. Saat acara
kami berdua telah kami bawakan, aku dan dia duduk menunggu acara pembakaran
kalender 2015. Acara pun dimulai. Kalender dibakar, lampu dipadamkan. Setelah
itu keributan terjadi. Bukan karena adu mulut atau adu kekuatan, namun
keributan tercipta oleh motor-motor yang melakukan racing yang
sangat memekakkan telinga. Petasan lalu dinyalakan. Waktu kami bersamaan dengan
Kampung Pledo, Werang Gere, Sandosi, Balawelin, dan Wato One. Meriah sekali
malam tahun baru ini. Saat aku sedang menikmati warna-warni petasan yang
menghiasi malam berbintang ini, Arsad datang menghampiriku membawa sebuah
petasan besar. Ia mengajakku untuk menemaninya bermain petasan. Aku langsung
mau dan mengikuti ia menuju jalan raya. Ternyata, telah banyak pasangan yang
ada. Jadi ini adalah perlombaan yang diadakan untuk pasangan muda-mudi. Disana
telah ada Maria dan Janno. Kami sama-sama bersaing menjadi pemenang. Peluit pun
dibunyikan. Aku dan Arsad menyalakan api pada sumbu petasan, lalu mengangkatnya
tinggi-tinggi. Aku yang memegangnya, sedangkan Arsad membantuku memegang
petasan.
Duar… Duar…!
Petasan
meledak. Sungguh indah menyaksikan pemandangan tersebut. Aku dan Arsad sangat
kompak. Aku senang sekali karena selain memenangkan perlombaan petasan itu,
Arsad menyatakan cinta padaku di antara semua keluargaku. Aku tak menyangka.
Cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Dia juga mempunyai perasaan yang sama
denganku.
TAMAT
Penulis: Chyaa
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~