Ada dua kubu di dunia ini. Pertama Si Gelap, kedua Si Terang. Masing-masing kubu terdiri atas penyihir-penyihir ulung yang ditakdirkan untuk menyingkirkan puing-puing Si Kelam yang Jahat.

Aku berada di kubu Si Gelap atas pewarisan dari ayahku. Namaku Aina. Umurku sembilan tahun. Ayahku pernah bilang, 'seorang penyihir harus menerima konsekuensi jika pengetahuan yang diketahui belum mencapai rata-rata maka akan terjebak di dalam Rubik Waktu. Tapi itu hanya kemungkinan kecil untuk terjebak di sana, Aina.' Suara beratnya yang khas membuatku rindu dengan ketegasan ucapannya.

Aku sudah membaca lebih dari dua ratus buku tata cara penggunaan sihir. Beberapa diantaranya dokumenter seorang penyihir terkenal dan novel fiksi yang memberikan rasa sedih hingga semangat yang mendorongku untuk lebih giat lagi untuk belajar dan belajar.

Aku menelan kata-kata ayah sebagai hipotesis semata. Karena saat ini, aku sedang terjebak di dalam Rubik Waktu. Bersama temanku dari kubu Si Terang. Swan, Laki-laki pendiam yang cukup menarik perhatian dari sisi wajahnya saja. Dia cukup tampan dari angkatan umur lima belas tahun di daerah kami.

"Swan! Kau laki-laki! Cari cara dong biar bisa keluar!" Aku sangat panik saat ini. Dinding Rubik Waktu yang bentuknya mirip seperti rubik, yang setiap perseginya dihiasi jarum jam dan angka romawi membuat Swan termangu menatapnya.

Seingatku, kami ditugaskan untuk mencari Daun Berasap di Hutan Rindang Permai. Kami tiba-tiba saja masuk ke dalam sini saat Swan melafalkan sihir pengobatan pada pergelangan kakiku yang sempat terkilir saat diperjalanan. Aku yakin Swan melafalkannya secara keliru.

"Swan!!!" Aku merengek padanya. Lihatlah, dia hanya berdiri terpatung menatap persegi-persegi yang tertampal berpindah-pindah tempat.

"I ... ni persis seperti di Novel Penjajah Kewaktuan." Swan meraba-raba setiap jarak dari persegi-persegi itu.

"Ayolah, lagipula seingatku tak ada gambar atau ilustrasi yang menggambarkan ruangan kesialan ini."

"Tapi John Mayer menuliskannya secara rinci di Novel itu, seakan dia juga pernah terjebak di sini."

"Oke aku akui itu dan buku John Mayer sukses membuatmu terpesona. Tapi itu tidak terlalu penting Swan. Kita harus segera keluar dari sini atau paling tidak beri sinyal darurat bahwa ada dua orang yang terjebak di dalam Rubik Waktu!" Aku mengomel, dan itu berhasil membuat Swan menolehkan kepalanya ke arahku, menatap diriku yang sudah putus asa.

"Aku mengingat satu hal yang dibicarakan saat tokoh utama di dalam Novel terjebak di sini juga," Swan menoleh ke atas lantas melanjutkan ucapannya, "Tapi aku tidak tahu itu akan keliru karena benar atau tidaknya aku tidak tahu."

"Swan ... itu fiksi, loh. Yang bener saja deh, kamu mau nyobain hal fiksi di keadaan genting seperti ini?" Saat diriku sibuk mengoceh. Swan memejamkan matanya. Mulutnya berkomat-kamit mengikuti alur setiap ucapannya.

Wah gila, sih. Masa dia nyoba beneran? Dalam hati pun aku masih saja mengomel. Swan benar-benar menghayati ucapannya, aku sangat takut jika dia keliru. Tanpa sebab aku meragukan dirinya, karena kami berdiri di sini saja karena ulah dia.

"... berhenti dan kami ingin keluar." Swan mengakhiri ucapannya. Dia membuka mata. Sekaligus ruangan Rubik Waktu yang kian memudar. Tunggu dulu, apa ini berhasil? Apa Swan mengucapkan mantra yang benar? Oh, Astaga!

"Sudah." Ditiliknya lingkungan sekitar, persis saat kami menginjakan kaki terakhir di sini.

"Swan! Kau berhasil!!! Terima kasih!" Sial aku mengeluarkan air mata dan sedikit memeluk dia. Semoga saja dia tidak ingat ucapan dan kekeliruan aksiku saat ini dan tadi.

 TAMAT


    Pengarang: Gemallaroes