Cerita ini dimulai ketika rintik hujan mulai menghampiri bumi dan angin sejuk  di udara mulai masuk melalui hidung Daran.

"Bang, lo liat sepatu gue gak?"

Seorang laki-laki yang sedang duduk di sofa itu menggeleng dengan pelan sambil melirik ke arah Daran heran.

"Aduh, itu sepatu kemana sih? Gue ubek sampe Amerika pun gak ada ah!" ucapnya frustasi.

Di tengah-tengah kesibukannya itu, Daran sempat-sempatnya terjatuh dan kakinya tak sengaja menendang kecil kaki meja dapur yang kotak itu. Aw pasti rasanya sakit. 

"Ke mana sih?" Dia terus saja berputar mengelilingi rumahnya yang lumayan besar itu, sejak 20 menit yang lalu dia belum juga menemukan sepatu yang sedang dicarinya itu.

"Bang, lo asli gak liat? Masa ah! Lo dari tadi disana mulu. Perasaan gue, itu sepatu gak gue kemana-manain, lah sekarang malah ngilang." Daran berdiri di depan Deran yang masih saja duduk dengan tenang di sofa sambil menonton TV. Mencoba untuk melihat sebentar acara TV apa yang sedang ditonton abangnya itu, setelah itu langsung menghampiri dinding dan bersandar disana.

"Ikan kali ikan laut, ya itulah ikan-ikanan." Daran terus saja mendesak Deran dengan menanyakan keberadaan sepatu yang tengah dicarinya itu, heran! Kenapa tiba-tiba Deran menjadi tidak banyak omong seperti ini? Biasanya dialah yang paling cerewet ketika Daran kehilangan sesuatu.

"Ke mana ya? Masa diambil tikus si ah! gak mungkin, cicak? Gak mungkin juga lah! Masa semut si? Kali aja semut lagi reinkarnasi jadi maling kan bisa jadi."

Daran terus saja mengoceh sambil bersandar di dinding ruang tengah. Bosan? Sudah pasti! Dari tadi dia tidak mengalihkan pandangannya dari Deran yang anteng menonton TV di sana.

"Makanya kalau punya barang itu disimpen di tempatnya." Deran berbicara tanpa menatap Daran, sedangkan Daran hanya melihat Deran seperti tatapan, "BAPAK KAU DI TEMPATNYA"

Daran sudah menanyakan perihal sepatunya itu kepada mama, ayah, kakak perempuan, dan teman-temannya itu. Bahkan bapak-bapak tukang bakso keliling juga dipaksa berhenti olehnya hanya untuk menanyakan sepatu kesayangannya itu.

"Hujan-hujan apa yang romantis? Hujani aku dengan doamu asik," tawa Daran pecah, dia tertawa sambil terpingkal-pingkal di teras rumahnya. Jangan tanyakan seberapa recehnya Daran, melihat kucing bernafas juga dia sudah tertawa terbahak-bahak.

"Kali-kali apa yang indah? Kalimat permisi paket dari seorang abang kurir hahaha wkwk."

"Woy, bersisik!"

"Hah berkaki?" tanya Daran pada tetangga yang tadi menegurnya. Dia teman Daran. Bisa dikatakan teman sehati, sejiwa, seotak, sepemikiran, senasib, sepenanggungan. Iya!

"Berisik Anj--astaghfirullah--tahan, jangan sampai mengeluarkan kata-kata yang tidak berguna," ucap Fero sambil mengusap dadanya pelan dan menghampiri Daran yang sedang berada di teras.

"You siapa?"

"Manusia tak bertulang, ya masa!"

"Gue doain lo asli gak bertulang mau?"

"Enggaklah gila lo."

Daran dan Fero duduk di teras dengan kaki sila, mereka diam dan hanya mendengarkan suara amang tukang balon yang sedang menawarkan dagangannya.

"Fer, gue single dari lahir. Belum pernah gue rasain gimana rasanya punya cewek woy ah!," Daran mulai membuka suara, dia mendongakkan kepalanya keatas untuk menambah kesan kesengsaraan, dan mencoba menghilangkan pikiran sepatunya yang hilang entah kemana dan berpikir, "Bodo amat."

"Makanya jadi orang ganteng."

"Gue udah ganteng dari jaman purba, Fer. Eh iya masalah ganteng, lo tau gak sepatu gue di mana?"

"YA MANA TAU, GUE KAN BUKAN BAPAK KAU." Daran menutup telinganya sekejap untuk menahan suara yang tidak berperi-ketelingaan itu.

"Ya kali lo tau, terus lo tau gak?"

"Tau apa?"

"YA MANA TAU, GUE KAN BUKAN BAPAK KAU"

"Anjir, eh, keceplosan." Daran menatap Fero sinis, bukan tidak suka mendengar kata-kata dari Fero, tapi dia tidak suka karena Fero tidak mengetahui keberadaan sepatunya itu.

"Lo ngapain si ah ke sini, Fer?"

"Ya lo tadi ngapain ketawa sendiri sampe lo terjungkal dengan indah, hah?! Bikin gue merasa ingin mencaci maki aja."

"O."

Daran kemudian membuka Handphone miliknya yang sedang bergetar itu, menandakan ada sebuah pesan yang masuk.

Dek, Mama mungkin gak bakalan pulang dulu, tolong nanti cek di kamar Mama  berkas-berkas warna biru ya, Deran lagi di luar jadi gak bisa bantu Mama.

Daran menatap heran layar ponselnya itu, Deran? Kakak laki-lakinya itu sedang di depan TV, kenapa mamanya menyebutkan bahwa dia sedang di luar? Ah mungkin mamanya tidak tahu atau Daran sedang menjahilinya.

"Heh!" Lamunan Daran langsung buyar ketika Fero menepuk bahunya keras.

"SEPATU GUE KE MANA SIH?"

"Masih aja urus sepatu, sepatu lo udah segudang, kenapa harus yang itu sih? Lagian lo mau ke mana? Mendung nih gak baik buat jomblo."

"Ke mana ya? Hmm."

Seperti petir di siang bolong, mata Daran langsung membulat sempurna, kakinya bergetar hebat dan jantungnya berdegup kencang. Bukan! Bukan melihat perempuan yang disukainya, tapi....

"Dar, Fer, lagi ngapain nih? Udah sore di teras aja."

Deran. Iya, dia Deran. Kakak laki-laki dari seorang Daran. Ternyata mamanya benar bahwa Deran sedang di luar, sepatu yang dicari oleh Daran pun sedang dipakai oleh Deran, pantas saja tidak ada.

Daran mengerjapkan matanya cepat, dia mulai merasakan hawa panas pada dirinya. Fero yang sedang menggoyangkan bahu Daran pun tidak digubrisnya. Sementara Deran yang baru saja sampai hanya melihat Daran dengan Heran.

"Fer, terus yang tadi ada di dalem siapa?"

Pengarang: Hanisa