[Aku]
“Boleh aku duduk di
sini?” tanyaku dengan senyum semanis munngkin yang bisa aku suguhkan pada
pemuda di hadapanku.
Dia kaget. “Ah?
Iya.” Dia tersenyum setelahnya, untuk menutupi kekagetannya.
Lima belas menit
berlalu, ia masih pada posisinya, mungkin hanya gelas Americano yang berubah
tempat karena sesekali ia minum.
“Akhir-akhir ini
dunia memang senang ngajak bercanda, ya?” tanyaku membuka obrolan.
Matanya yang
tadinya kosong mengarah ke jendela jadi terarah padaku. Ia cuma tersenyum
sebagai jawaban. Senyumnya manis.
“Tapi di
hari-hariku, dunia bukan hanya ngajak bercanda, dia seakan-akan ngajak
berantem.” Dia berkata begitu lalu tersenyum, diiringi tawa singkatnya.
Senyumnya manis, tawanya lucu, sampai pipinya mengeluarkan lesung di bagian
kiri.
“Katanya, dunia selalu mengirimkan orang-orang tepat di waktu yang tepat juga.”
Setelah mendengar kalimatku, dia cuma diam. Keningnya berkerut.
“Katanya, bercerita
pada seseorang yang tak dikenal itu jauh lebih leluasa, dia tak akan pernah
menghakimimu atas apa yang kamu alami. Karena dia ngggak tahu apa-apa.”
Dia tersenyum. “Ah,
aku paham maksudmu.” Lalu dia kembali mengosongkan tatapannya, tampak kembali
memikirkan sesuatu.
“Kalau saja beban
di dalam kepalamu bisa bicara, mereka sudah misuh.
Karena tak kamu keluarkan dari ruangan gelap yang ada dalam kepalamu.” Aku
menyodorkan permen karet padanya. “Makanan manis baik untuk orang-orang yang
sedang sedih, katanya.”
“Makasih,” katanya,
sambil mengambil permen karet yang aku sodorkan.
“Senyummu bagus,”
kataku, dia malah menyandarkan punggungnya di kursi kafe.
“Dunia tak mau
menerimaku.” Dia tersenyum hambar, bukan senyum manis yang aku inginkan.
“Memangnya apa yang
telah dunia lakukan padamu?” tanyaku, dengan dagu yang aku topang dengan ke dua
telapak tanganku, memajukan wajahku lebih dekat ke arahnya.
“Meninggalkanku
sendirian.”
Aku berpikir
sejenak, mencoba mencari jawaban dari pertanyaannya.
“Mereka tak
membawaku juga. Aku dibiarkan sendirian,” ujarnya lagi, dengan suara yang lebih
parau.
Belum sempat aku
menanggapi kalimatnya, ia sudah menatap arloji hitam di tangan kanannya. “Aku
harus pergi,” katanya.
Aku cuma tersenyum
sebagai jawaban.
Dia sudah pergi,
sebelum akhirnya datang lagi, dengan mengulurkan tangan kanannya. “Aku Elang.”
Aku menjabat
tangannya. “Kamu yakin mau tahu namaku?” tanyaku dengan menyunggingkan senyum
meremehkannya.
“Kenapa nggak?” Dia
justru balik bertanya.
“Kalau kita sudah
kenal kamu tak akan pernah lagi leluasa bercerita padaku, Lang. Kalau kamu tahu
namaku, saat itu adalah waktu yang tepat untuk Tuhan mengirimkan orang baru,”
jawabku singkat dengan penuh penekanan.
Dia nampak
berpikir, sebelum akhirnya ia melepaskan jabatan tangan kami. "Kalau begitu,
semoga besok masih menjadi waktu yang tepat bagi Tuhan untuk mengirimkan kamu
lagi, karena ceritaku belum selesai.”
Aku menatap
punggungnya sampai keluar dari kafe sembari mengetuk-ngetukkan jariku.
Sepertinya aku memang harus datang lagi besok.
*****
“Kamu terlambat
tiga jam.” Dia melipat tangannya di depan dada.
Aku cuma tertawa,
“memangnya kita janji akan datang? Tidak! Tuhan yang mengirimku di waktu ini,
ini waktu yang tepat.”
“Kamu selalu punya
jawaban ya kayaknya.” Dia mengerucutkan bibirnya, lucu. Tapi aku lebih suka
melihat lesung pipi di bagian pipi kirinya.
“Duniamu terlalu
sibuk, Lang. Kamu terlalu banyak dikelilingi manusia, sekali saja. Ajak ngbrol
pikiranmu, merdekakan mereka yang selama ini kau penjarakan dan kamu suruh
diam. Kamu memanjakan egomu.”
“Kamu nggak tahu,”
jawabnya membela diri.
“Kamu berada di
pusat bumi, menonjol, bagaimana bisa aku nggak tahu tentang kamu. Aku tahu, aku
tahu kamu,” jawabku asal.
“Memangnya asalmu
dari mana?” tanyanya.
“Mars.”
“Hah?”
Aku berdiri dari tempatku,
menggandeng tangannya. “Ayo aku tunjukkan ujung dunia, Lang. Otakmu benar-benar
perlu dimerdekakan.”
*****
[Elang]
Dia memintaku
mengantarnya, perempuan dengan rambut yang dikuncir kuda, dengan kaus kuning
terang dan jeans putihnya. Ke ujung dunia katanya, entah di mana itu. Aku Cuma
meng-iyakannya.
“Kita sampai.” Dia
tersenyum lebar.
“Pantai?” tanyaku.
Dia mengangguk. “Kita
gak usah turun, karena aku mau pergi.”
“Maksudmu?” tanyaku
kaget.
“Tuhan sudah bilang
waktu yang tepat untuk aku datang sudah hampir habis.” Dia tersenyum sejenak.
“Pantai ujung dunia menurut beberpa orang, Lang. Dia ujung tempat matahari
mengakhiri sinarnya hari ini. Kalau kamu takut gelap, kamu bisa ikut cahaya
matahri yang sebentar lagi tenggelam.”
“Aku gak paham,”
jawabku jujur.
Dia tertawa. “Kita berada di ujung, Lang. Waktunya untuk istirahat. Kita bukan matahri, yang selalu bersinar tiap hari tanpa henti. Istirahat sekali duakali gak akan buat kamu mati selamanya.”
Dia mengembuskan
napas sebentar, aku cuma menunggu kalimat selanjutnya yang keluar dari
mulutnya. “Di pikiranmu, dunia membencimu. Tapi apa yang kita pikirkan belum
tentu adalan sebuah kenyataan, Lang. Coba sekarang tanyakan lagi dunia yang
membenci mu, atau kamu yang mulai membenci dunia? Kalau dunia membencimu, kamu
sudah tak akan punya ruang di sini, Lang.”
Aku terdiam, memaknai
setiap kalimat yang barusan keluar dari mulutnya, benar juga.
“Waktu tak akan
pernah berhenti walaupun kita sedang bersedih, Lang. Lang, merdekakan pikiranmu.”
Kami sama-sama
terdiam sesaaat, sampai ia membuka topik lagi.
“Namaku, Elang.” Dia mengulurkan tangannya.
“Apa?” Aku tak
mengerti, tapi aku juga menjabat tangannya.
“Aku Elang. Namaku
Elang. Karena aku adalah kamu.”
Aku cuma
mengerutkan kening, semakin tak paham dengan apa yang diucapkannya.
“Kamu siapa?” tanyaku
ulang.
“Aku adalah bentuk
dari pikiran yang selama ini kamu penjarakan, Lang. Pikiran yang tidak kamu
bebaskan untuk mengeluarkan pendapatnya padamu. Pikiran yang selama ini kau
tinggalkan di ruang gelap yang ada dalam kepalamu. Benar, kau benar-benar butuh
istirhat, Lang.”
“Jadi?”
“Sampai jumpa, kau
sudah tahu namaku. Tidak akan leluasa lagi bagimu bercerita pada dirimu dalam
bentuk aku.”
Lalu perempuan ini
menghilang. Perempuan dengan rambutnya yang diuncir kuda dan kaus kuning
cerahnya. Karena dia adalah aku. Dia adalah implementasi dari halusinasiku yang
merasa tak punya siapapun lagi selain diriku.
Aku sadar sekarang.
Benar, dia adalah aku. Dan wujudnya sama, seperti wujud yang selalu ada fotonya
dalam dompetku.
Ah, aku baru ingat.
Aku membuka dompet hitamku, ada foto wanita cantik yang menguncir kuda
rambutnya, memakai baju kuning dengan tawa termanisnya. Mama.
Sepertinya,
antidepresanku belum aku minum beberapa hari belakangan. Tunggu, sepertinya
sudah tiga atau empat hari aku tidak melihatnya.
Pengarang: Cila.
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~