Saat ini aku ingin menuju cowok jangkung yang bisa dibilang dia dekat denganku. Aku kenal dia dari aku masih duduk di kelas satu sekolah dasar. Dia laki-laki yang tangguh, bertanggung jawab, dan yang paling aku suka dari dia yaitu dia adalah laki-laki yang sangat menghargai perempuan. Bagaimana aku tidak meleleh setiap bersama dia. Ya, aku menyukainya.

Aku melihat cowok itu sedang beristirahat di tribun lapangan. Keringatnya yang bercucuran sehabis main basket membuat dia semakin terlihat tampan. Ah, andai saja aku bisa miliki dia. Aku mendekatinya lalu memberikan dia sebotol air mineral dingin.

“Nih, Ka.”

Ia menoleh padaku dengan nafasnya yang terengah-engah. Mata cokelat gelap milik Raka itu sangat indah. Bagaimana aku tidak menyukainya.

“Makasih, Ca,” balasnya sambil tersenyum, lalu mengambil air mineral yang aku beri dan meminumnya. Aku tahu betul Raka sangat menyukai air putih dingin daripada minuman manis saat setelah bermain basket.

Aku duduk tepat di sebelah kanannya. Dalam diam aku memerhatikan Raka yang sedang meneguk air yang aku beri tadi. Sedikit heran, karena ia meneguknya cukup banyak. Hmm, mungkin saja bermain basket kali ini cukup melelahkan baginya. Lihat lah rahang tajam itu. Paras wajah yang sempurna dengan kulitnya yang berwarna kunging langsat serta postur tubuhnya yang tegas membuat bibirku melengkung ke atas.

“Kamu ngapain ngeliatin aku segitunya, Ca?” 

Aku tersadar dari lamunanku. Tunggu, apa? Oh, tidak, tidak. Ah, aku jadi salah tingkah. Memang aku menatap dia seperti apa? Kurasa biasa saja. Atau di mata Raka tatapanku tidak biasa? Ah, pipiku memanas. Aku yakin pipiku saat ini pasti sudah terlihat seperti kepiting rebus.

“Lo demam, ya?” Hah? Apa? Maksud Raka apa mengira aku demam saat ini? “Itu pipi lo merah,” lanjutnya. Siapapun tolong bawa aku hilang dari muka bumi ini, ku mohon.

•••

 

 Kulihat pantulan diriku pada cermin toilet. Rambut panjang berwarna cokelatku terlihat indah. Paras wajahku juga terlihat cantik dan sempurna. Tetapi, mengapa Raka tak pernah melihat itu dariku? Ah, aku baru ingat, Raka tak pernah melihat fisik cewek terlebih dahulu. Benar, sih, fisik memang bukan segalanya. Aku menyadari hal itu. Aku juga sadar bahwa sifatku belum cukup baik untuk Raka.

“Caca.”

Aku menoleh ke sumber suara. Wow, cewek dengan rambut yang sama panjangnya denganku baru saja menyapaku. Untuk apa “Si Tukang Fitnah” ini menyapaku? Mengganggu saja.

“Lo marah juga sama gue?”

Aku hanya menatapnya dengan tatapan tak suka. Pertanyaan aneh, jelas aku marah padanya. Seumur-umur Cherly tidak pernah memfitnah orang. Apalagi fitnah Cherly kali ini sangat keterlaluan.

“Menurut lo?”

Cherly tak langsung menjawab. Aku memalingkan pandanganku darinya setelah melihat wajahnya yang sok lugu itu. 

“Oke, gue tahu gue salah. Tapi, Ca, lo harus dengerin penjelasan gue....”

“Penjelasan apa lagi, sih?” potongku. Aku tak suka cara dia berbicara dengan nada lugunya. “Gak perlu lo jelasin juga udah jelas. Lo itu jahat, Cher. Gue gak nyangka lo bisa sejahat itu sama Cindy.”

“Iya, gue tahu. Ini semua karena Icha yang mau pengin Cindy terkesan buruk ke semua orang,” balas Cherly dengan cukup tegas. Karena aku penasaran, jadi kubiarkan saja ia menjelaskan semua. “Waktu itu, gue denger pecakapan antara Carlos sama temen-temennya. Carlos bilang kalo Dhika ngelakuin ‘itu’ ke Cindy dan setelah itu Cindy hamil. Gue emang salah, gue tahu kalau Icha suka sama Dhika. Gue cerita ke Icha karena dia paksa gue. Kalau gua gak kasih tahu dia yang sebenarnya, dia bakal hancurin persahabatab kita berlima, Ca,” lanjutnya. 

Penjelasan dari Cherly cukup masuk akal. Icha adalah cewek yang paling tidak menyukai Cindy, karena Cindy berpacaran dengan Dhika. Tidak hanya Cindy, tetapi ia juga tidak menyukai kehadiran kami berlima. Carlos pun juga tidak menyukai Dhika dan kawan-kawannya. Hmm, mungkin kah Carlos dan Icha bekerja sama dengan Icha? 

Awalnya, aku tidak percaya dengan penjelasan Cherly. Bisa saja ia mengada-ada cerita supaya ia terlihat tak bersalah. Tetapi, setelah ku pikir-pikir Cherly tidak main-main dengan kalimatnya. Sudah belasan tahun aku kenal Cherly. Ia adalah orang yang bisa dipercaya. Cherly selalu mengatakan yang sebenarnya terjadi dan ia tidak pernah mengarang cerita sebagai pembelaan dirinya.

“Omongan lo bisa dipercaya, Cher?” tanyaku guna meyakinkannya. 

“Ca, Please. Kita udah kenal bertahun-tahun dan lo selalu percaya sama gue. Masa kali ini lo gak percaya sih sama gue?” balasnya sambil memeggang kedua bahuku. Jujur, aku merindukan sosok sahabat seperti Cherly. Sentuhan tangannya yang lembut ini membuatku nyaman. Ahh, bisakah Cindy mengakhiri ini semua?

“Iya, gue percaya kok sama lo, Cher.”

Thank you banget, Ca.” Cherly memelukku. Kurasa ia menangis di bahuku. Aku pun membalas pelukannya. Sungguh nyaman berpelukan dengan sahabat sendiri.

“Oh, iya. Masalah ini juga udah kelar. Tadi di ruang BK semuanya udah kebongkar. Carlos dan Icha ternyata bekerja sama,” ucap Cherly setelah melepas pelukannya. Hmm, sudah kuduga.

Aku melangkah keluar toilet bersama Cherly. Aku terkejut setelah melihat tiga cewek yang sangat aku kenal sedang berdiri tepat di depan pintu toilet wanita. Cewek berambut pendek itu tiba-tiba bertepuk tangan tiga kali, lalu berkata “Wow, bagus juga ya akting lo di depan Caca.”

 BERSAMBUNG


    Pengarang: Ziki Ramadhan