Setiap orang mempunyai benteng pertahanan dalam dirinya masing-masing. Bagi Senja, benteng pertahanan dalam dirinya adalah rasa kepercayaan diri. Ketika benteng pertahanannya di serang, maka rasa kepercayaan dirinya akan runtuh dan berubah menjadi rasa insecure.

Senja benci, ketika orang lain melihatnya dengan tatapan menilai dari atas sampai bawah. Senja juga benci ketika harus pura-pura tertawa meski hatinya terluka. 

Senja tidak tahu kapan terakhir kali dia bahagia. 

Senja benar-benar lelah dengan segala kepura-puraan ini. 

Senja juga seringkali merasa 𝘪𝘯𝘴𝘦𝘤𝘶𝘳𝘦 ketika melihat teman-temannya sudah melangkah jauh. Sedangkan Senja? Dia masih 𝘴𝘵𝘶𝘤𝘬 di sini dengan segala kekurangannya. 

"Kapan ya hidupku ini akan berubah?" tanyanya bermonolog. 

Hidup dengan dibayang-bayangi komentar orang lain memang meresahkan. Mendambakan hidup yang nyaman dan damai di masa kini ternyata cukup sulit. Orang-orang sering kali berkomentar tanpa tahu perasaan seseorang yang mereka komentari. Apalagi jika mereka mulai menghina seseorang dengan dalih bercanda. Sungguh menyebalkan. 

"Senja, malem ini ada reuni SMP kan ya?" tanya Anin yang sedaritadi fokus dengan ponselnya. 

Senja mengangguk. "Iya kenapa?"

"Lo mau ikut ga? Kalau lo ga ikut, gue juga engga," ucap Anin sambil terkekeh pelan. 

Senja mengangguk setuju. Sudah lama  juga dia tidak bertemu dengan teman lamanya. 

"Oke sip, gue konfirmasi ke Surya langsung ya," ujar Anin. 

****

 

Kini hari mulai menggelap. Senja pun sudah siap pergi ke acara reuni dengan balutan dress biru polos dan make-up naturalnya. Senja pergi bersama Anin ke acara reuni itu. 

Setelah sampai di cafe yang menjadi tempat untuk acara reuni SMP, Anin dan Senja langsung disambut oleh teman SMP nya. 

"Wahhh ini nih yang susah banget buat diajakin ketemu! Senjaaa apa kabar?!!" ucap Ebina histeris. 

Senja terkekeh pelan. "Baik Bin, lo apa kabar?" tanyanya. 

"Ya beginilah Ja, gue always baik-baik aja," jawab Caca sambil terkekeh. 

"Ga kangen gue nih, Bin?" tanya Anin pura-pura merajuk. 

Ebina mengedik acuh. "Gue kangennya sama Senja. Kalau lo mah kan udah sering ketemu!" 

"Ih nyebelin!" ucap Anin dengan nada merajuk. 

Ebina dan Senja tertawa riang. 

"Ga usah sok ngambek gitu deh!" ucap Ebina. 

Senja masih terkekeh pelan melihat tingkah laku kedua sahabatnya itu. 

"𝘌𝘩𝘩... 𝘪𝘵𝘶 𝘚𝘦𝘯𝘫𝘢 𝘣𝘶𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘪𝘩?" bisik seseorang dari arah 𝘣𝘦𝘭𝘢𝘬𝘢𝘯𝘨 𝘚𝘦𝘯𝘫𝘢

"Eh iya itu Senja, ga berubah sama sekali ya?"

"Iya kan? Masih tetep gendut aja ya haha."

"Iya betul, terus kok jadi banyak jerawat gitu. Padahal kalau kurus dan gaada jerawat pasti cantik deh!"

Anin dan Ebina yang mendengar ucapan tersebut langsung menatap Senja yang sudah terpaku seperti patung. 

Senja menatap Anin dan Ebina dengan senyum yang sedikit dipaksakan. 

"Ayo kita ke sana, itu Surya dari tadi udah manggilin kita. Yuk, Ja!" ajak Ebina sambil menggandeng tangan Senja.

"Eh ini Senja? Wah beda banget ya sekarang," ucap Mauren histeris. 

Senja hanya dapat tersenyum tipis.

"Eh kok lo makin gendutan gini sih, Ja? Jarang olahraga ya?"

"Eh terus kok lo jadi jerawatan sih? Ah sayang banget, padahal dulu lo cantik banget lho Ja," ucap Mauren lagi. 

Ucapan Mauren benar-benar mengalihkan atensi semua orang. Kini, mereka benar-benar fokus ke arah Senja dan Mauren. 

Anin menatap Mauren kesal.

"Apa-apaan sih Ren? Senja kena breakout kan wajar. Kenapa harus histeris gitu sih?" tanyanya kesal. 

"Eh emang kenapa? Gue kan cuma bercanda," ucap Mauren. 

Ebina memelototi satu persatu orang-orang yang menatap ke arah mereka. Menyuruh mereka untuk berhenti menatap Senja. 

Senja merasa tidak tahu harus berbicara apalagi. Rasanya, benar-benar campur aduk. 

"Bercanda? Hey! Kalau lo bercanda otomatis yang dibercandainnya juga pasti ketawa dong. Emangnya lo ngeliat Senja ketawa? Engga kan?!" ucap Anin marah. 

Senja menatap Anin yang masih memarahi Mauren. "Udah Nin, gue gapapa kok. Gue ke toilet bentar ya," ucap Senja pamit undur diri. 

Mauren tersenyum senang. "Tuh lihat kan? Senja aja bilang gapapa. Kenapa jadi lo yang sewot sih, Nin?!" ucapnya tak terima.

"Susah ya kalau ngomong sama orang yang ga punya otak," ucap Anin kesal sambil menarik tangan Ebina agar ikut pergi. 

Suasana reuni SMP itu pun menjadi canggung. Mauren yang mendengar ucapan terakhir Anin benar-benar kesal bukan main! 

**** 


Senja tidak pergi ke toilet, melainkan pergi ke arah taman dekat cafe. Senja benar-benar butuh ruang untuk menyendiri. Senja sudah terbiasa dikomentari oleh orang lain. Tetapi, kali ini benar-benar menambah luka di hatinya. Bagaimana bisa mereka mencemooh Senja secara terang-terangan seperti itu? 

"Kenapa sih mereka enteng banget ngomong kayak gitu. Padahal kan, mereka ga pernah tahu apa yang selama ini udah aku jalani hiks... hiks... hikss...."

Senja sudah tak kuasa membendung air matanya. Isak tangis pun mulai lolos dari mulut Senja. 

Tanpa Senja sadari, ada seseorang yang daritadi mengamati dan kini duduk di sebelahnya. 

"Wah... ini waktu yang cukup tepat ya? Emm... kamu butuh sapu tangan?" tanya orang itu. 

Senja yang sedaritadi menunduk sambil terisak langsung mengambil sapu tangan itu dan mengelap wajahnya. 

"Makasih, nanti aku cuci sapu tangannya," ucap Senja. 

"Ga perlu. Itu buat kamu aja. Ngomong-ngomong, nama kamu Senja kan?" tanyanya. 

Senja menatap orang di sebelahnya itu dengan seksama. Senja merasa sangat familiar dengan wajah itu. 

"Iya saya Senja, ada apa ya?"

"Percaya atau engga, aku juga Senja," ucapnya sambil tersenyum merekah. 

Senja mengernyit tak paham. "Maksudnya?"

"Aku ini Senja sepuluh tahun yang akan datang," ucapnya lagi. 

Senja menatap tak percaya jika versi dewasanya kini berada tepat di hadapannya. Sepuluh tahun yang akan datang? Otomatis Senja versi dewasa ini sekitar 27 tahun ya? 

Ini bukan mimpi kan?! Senja menepuk pipinya, berharap ia bisa bangun dari tidurnya. 

"Ini bukan mimpi kok," ucap Senja versi dewasa. 

"Bagaimana bisa kamu ada di sini?" 

Senja versi dewasa tersenyum tipis.

"Sebenarnya aku sudah menjelajahi waktu untuk menemukan dimensi diriku yang masih berusia 17 tahun. Dan akhirnya aku berhasil menemukanmu, wahai diriku," ujarnya. 

Rasanya, benar-benar aneh saat kamu berhadapan dengan dirimu di masa depan.

"Hari ini hari acara reuni kan?" tanya Senja versi dewasa. 

Senja pun mengangguk lesu. 

"Sudah aku duga, hal ini pasti akan tetap terjadi!" 

Senja versi dewasa menatap Senja berusia 17 tahun dengan tatapan sendu. Untuk pertama kalinya dia menyaksikan kesedihan dirinya sendiri. 

"Senja, di dimensi paralel mana pun komentar buruk dari setiap orang tidak bisa dicegah. Itu memang sudah jalannya. Kamu hanya perlu menutup telingamu rapat-rapat. Biarkan mereka menggonggong tanpa harus kamu pedulikan."

Senja merengut. "Tapi aku merasa insecure. Tatapan dan ucapan mereka benar-benar membuatku sedih."

Senja versi dewasa menatap Senja usia 17 tahun dengan serius. "Kenapa kamu harus insecure? Senja, kamu tahu tidak? Di masa depan kamu akan melalui banyak hal. Problematika dalam kehidupan memang tidak akan pernah ada habisnya. Ketika suatu masalah sudah teratasi, maka suatu masalah lain akan muncul."

"Rasa insecurity memang akan tetap ada, tapi tergantung bagaimana cara kamu menghadapinya. Kamu hanya perlu menjalani hidupmu sebaik mungkin. Jangan pedulikan apa kata orang. Fokus terus pada tujuan hidupmu, agar kamu bisa berada pada suatu titik yang sudah lama kamu impikan," ucap Senja versi dewasa lagi. 

"Ingat Senja, setiap orang memiliki proses untuk mekar dengan indahnya masing-masing. Cepat atau lambatnya itu tergantung kamu. Apakah kamu mau berubah atau masih tetap ingin seperti ini? Itu yang kamu tentukan sendiri."

Senja menatap versi dewasanya dengan tatapan kagum. Senja tak pernah menyangka jika kata-kata itu berasal dari dirinya di masa depan. 

Senyum Senja mulai merekah, Senja merasa lebih baik. 

"Terima kasih, aku merasa lebih baik. Memang benar, aku tidak pernah bisa membatasi komentar yang tertuju pada diriku. Aku hanya perlu menutup telinga dan mencoba untuk terus bersyukur," ucap Senja. 

"Tetap semangat dan jangan pernah menyerah ya! Itu kata-kata yang selalu seseorang katakan padaku," ucap Senja versi dewasa. 

"Apa di masa depan sana aku sudah menikah?"

Senja versi dewasa mengangguk. "Iya dan aku sudah dikaruniai tiga orang anak," ucapnya sambil terkekeh. 

"Dengan siapa aku menikah nanti?" tanya Senja penasaran. 

Senja versi dewasa hanya dapat terkekeh pelan. "Itu... rahasia dong!" 

Senja hanya dapat mengangguk mengerti, meskipun dia sangat penasaran. 

"Senja, aku rasa ini sudah saatnya aku pulang. Aku izin pamit ya. Belajar yang rajin ya, Senja. Selamat tinggal!" ucap Senja versi dewasa sambil menghilang ditelan cahaya. 

Senja masih tidak percaya hal ini akan terjadi. 

Senja juga sadar, jika selama ini dia terlalu terpaku pada penilaian orang. Sehingga mulai mengesampingkan kebahagiaan dirinya sendiri.

Mencintai dan menerima diri sendiri merupakan hal terpenting yang harus senantiasa Senja lakukan. 

Mulai saat ini, Senja harus lebih bahagia—harus sangat sangat bahagia! 

 

-T A M A T-


 Pengarang: Rahmalia Khoirunnisa