"Mereka masuk ke dalam begitu memegang joystick itu," kata Yogi yang
masih shock dengan apa yang dia lihat.
Aku melihat ke arah layar yang menjadi masalah itu.
Aku hanya terpaku menatap layar itu yang tidak merubah tampilannya dari
semenjak aku memasuki ruang tengah.
Aku terdiam cukup lama. Bagaimana bisa mereka masuk
begitu saja ke dalam game saat aku pergi mengambil makanan? Memangnya ada apa
di joystick itu sampai bisa menyeret orang masuk ke dalam sana?
"Bagaimana cara kita mengeluarkan mereka?" kata
Linda tiba-tiba.
Aku juga memikirkan hal yang sama dengan Linda.
Bagaimana bisa mengeluarkan seseorang yang bahkan tidak bisa kita sentuh.
"Rasanya lebih mudah menyelamatkan orang yang
tenggelam dibanding masuk ke dalam game. Kalau orang tenggelam kita tinggal
lompat ke dalam air dan membantunya keluar dari air."
Aku mendengar kalimat yang dilontarkan Linda, dan
rasanya seperti aku mendapatkan suatu ide. Suatu ide yang lumayan gila untuk
dilakukan.
"Aku akan ikut masuk ke dalam." Aku pun
berdiri dari posisi dudukku dan menatap ke arah teman-temanku.
"Apa?" teriak Yogi tiba-tiba.
"Aku akan masuk ke dalam game," kataku
ulang.
Wajah mereka tidak meyakinkan untuk mengizinkan apa
yang akan kulakukan. Aku tidak yakin akan yang melarang dengan keras, tapi
pasti akan ada yang melarangku untuk pergi.
"Jangan pergi." Suara pelan itu menarik
perhatianku.
"Jangan sembarangan mengambil tindakan pada suatu
hal yang belum kita ketahui." Ternyata itu suara Linda.
Wajahnya terlihat tidak begitu senang. Apa dia
khawatir? Atau dia marah dengan tindakan yang akan kuambil?
"Tapi nggak ada cara lain untuk menyelamatkan
mereka selain ikut masuk ke dalam sana." Aku menatap ke arah wajahnya.
"Sama seperti saat ingin menyelamatkan orang yang tenggelam, kita harus
ikut terjun ke dalam air agar orang itu bisa selamat."
"Tapi ada cara lain untuk menyelamatkan orang
tenggelam." Muka Linda terlihat begitu serius. "Kita tinggal
melemparkan pelampung agar diraih orang yang tenggelam."
"Kalau begitu apa yang harus kita lempar agar
bisa menyelamatkan mereka berdua?" tanyaku balik dengan begitu telak.
Linda terdiam tidak bisa membalas pertanyaan yang aku
berikan kepadanya. Semuanya terdiam. Aku tersenyum kecil, sepertinya aku menang
perdebatan kali ini.
"Lalu apa yang akan kau lakukan saat sudah masuk
ke dalam sana?" tanya Yogi. Dia masih mengatur nafasnya. Mungkin dia masih
sedikit shock.
"Konsol ini kutemukan di pinggir jalan. Pasti
orang yang memiliki ini sebelumnya sudah pernah masuk dan keluar. Karena tidak
ingin terjebak lagi dia membuangnya," kataku menjelaskan.
"Tidak, kamu tidak boleh ikut masuk. Kita masih
ada waktu untuk memikirkan cara lain," cegah Linda.
"Bagaimana jika tidak? Pada akhirnya kita harus
tetap masuk untuk menyelamatkan mereka."
"Aku akan masuk. Kalian tunggu saja di sini,
setidaknya kalian jagalah supaya konsol ini tidak mati," kataku sambil
bergerak mendekati joystick.
"Tunggu," panggil Linda.
Aku menoleh ke arahnya. Dia berjalan mendekati.
"Kamu pergi, aku juga pergi."
Wajahnya terlihat serius, seakan-akan jika aku
melarangnya dia akan tetap ikut masuk bersamaku.
"Baiklah, berarti aku dan Linda akan masuk
sementara kalian akan menunggu di sini." Yogi dan Lala hanya mengangguk
setuju.
"Aan sama Lilin hati-hati ya," kata Lala
mengucapkan perpisahan.
Aku pun mempersiapkan diriku. Perlahan aku sentuh dan
kupegang joystick itu. Aku sampai memegangnya dengan kedua tanganku dan
menggenggamnya dengan erat.
"Andri," panggil Linda, "kenapa kita
belum juga masuk ke dalam dunia game?"
"Aku juga tidak tau kenapa ini tidak
berhasil." Aku berbalik melihat ke arah Yogi dan Lala. "Tadi pas
Indra dan Layla masuk apa yang mereka lakukan?"
"Tadi sesudah Lala sama Laylay berdiskusi siapa
yang main duluan, Lala langsung duduk di sini dan laylay duduk dekat Iin."
"Setelah itu Indra bilang "kita mulai
ya," dan Layla hanya mengangguk. Aku rasa mereka menekan tombol start lalu
setelah itu mereka seperti terhisap ke dalam joystick itu," kata Yogi
menyambung penjelasan Lala.
"Tombol start ya," gumamku sambil melihat ke
arah joystick.
Aku melihat ke arah Linda dan dia mengangguk ke
arahku. Kupikir dia sudah siap. Aku pun menekan tombol start dan seketika
pandanganku kabur.
Televisi yang tadinya ada di depanku tiba-tiba
terlihat kabur dan tergantikan dengan hujan warna yang tidak terlihat jelas.
Rasanya seperti melewati saluran ruang waktu yang ada di film kebanyakan.
Cukup lama aku berada di dalam sana. Tak lama kemudian
saluran itu membuka gerbangnya dan tanah lapang yang luas tepat berada di
bawahku.
Aku terjatuh, rasanya seperti tersandung saat sedang
berlari. Aku segera bangun dan melihat keadaan sekitar.
Sunyi dan hening. Tempatku mendarat sepertinya adalah
sebuah padang rumput yang cukup luas. Tak jauh dari tempatku terjatuh tadi ada
gerbang yang terbuka dan kulihat Linda keluar dari sana.
Aku segera berlari menghampiri Linda. Linda merintih
kesakitan. Sepertinya dia terkejut saat harus jatuh tadi.
"Kamu baik-baik saja?" tanyaku saat sudah
dekat.
"Iya," jawab Linda singkat.
Linda pun turut berdiri dan mengenaskan bajunya
beberapa kali. Kulihat matanya memandang mengamati keadaan sekitar.
"Kukira tadinya kita akan muncul dengan posisi
duduk sama seperti saat di rumahmu, Andri."
"Aku juga mengiranya seperti itu," jawabku
singkat. "Tapi sepertinya kita malah harus terjatuh dan mendarat di padang
rumput yang cukup luas ini."
"Jadi bagaimana rencana selanjutnya?"
Aku berpikir sejenak. "Bagaimana kalau kita
berjalan ke arah sana? Pertama yang harus kita temukan pertama kali adalah
orang yang dapat membantu kita."
Linda hanya mengangguk setuju dengan perkataanku. Dia
juga tidak mengomentari arah yang kutunjuk dengan asal itu.
Kami pun berjalan, cukup jauh. Tidak ada orang yang kami
temui setelah berjalan selama 30 menit. Tempat ini semakin terasa seperti
padang gurun karena suasana sepi yang tersedia.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyaku lagi.
"Tidak apa-apa. Kita kan sudah biasa berlari
cukup jauh saat latihan, jika hanya berjalan ini bukan apa."
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Linda. Dia
benar, berjalan jauh seperti ini masih tidak bisa dibandingkan dengan latihan
keras yang biasa kami lakukan.
Kami masih terus tetap berjalan. Tidak ada pembicaraan
yang berarti diantara kami. Pandanganku terarah ke bawah dikarenakan tidak ada
yang bisa dilihat selain rumput yang terbentang luas.
"Andri, itu bangunan kan?" tanya Linda yang
membuat menengok ke arahnya.
"Yang mana?" Tangannya menunjuk ke arah yang
sedang kita tuju.
Aku melihat ke arah yang ditunjuk, dan benar. Itu
bangunan. Tidak terlalu tinggi, jadi kurasa letaknya cukup dekat dari posisi
kami sekarang.
"Iya itu bangunan," jawabku dengan senang.
"Kamu masih kuat? Mau berlomba siapa yang sampai
di sana lebih dulu?" tantang Linda dengan wajah cerianya.
"Kenapa tidak?" Kami pun sontak langsung
berlari.
Linda larinya cukup cepat, namun aku tidak mau kalah.
Segera kususul dia dan melesat dengan cepat.
Cukup jauh Linda tertinggal, sehingga aku memelankan
laju lariku. Aku pun beristirahat sejenak. Kulihat pandangan sekitar, masih
sama seperti saat aku pertama kali datang ke sini.
Namun rasa familiar itu perlahan hilang, saat
pandanganku menangkap sepasang sosok yang berjalan tak jauh dari tempatku
berada.
"Indra? Layla?" Gumamku pelan.
Aku melihat ke belakang, Linda sudah tak jauh dari
tempatku berada. Aku menghentikannya dan memberinya petunjuk untuk melihat ke
arah di mana aku melihat bayangan orang tadi.
"Itu Indra sama Layla bukan?" tanyaku
memastikan.
"Kenapa kita tidak ke sana saja?" Dia pun
langsung berlari meninggalkanku.
Aku pun langsung mengejarnya. Terdengar suara Linda
yang berlari sambil meneriaki nama kedua teman kami. Aku pun juga ikut
berteriak, berharap mereka mendengar dan berhenti berjalan menjauh.
Mereka berdua terlihat berhenti. Kami semakin dekat
dengan mereka. Namun aku merasakan sesuatu yang cukup aneh.
Pria itu bukan Indra. Dia memiliki postur tubuh yang
berbeda dengan Indra, dan teman di sebelahnya juga bukan Layla. Gadis di sebelahnya
juga seperti menggenggam sebilah pisau yang cukup tajam.
Aku pun memelankan lariku. Siapa mereka?
BERSAMBUNG!
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~