Malam yang hening. Bukan.
Maksudnya, malam yang berisik dengan suasana hati yang hening. Tidak ada
senyuman apalagi canda tawa dan gembira. Yang ada hanyalah suara ricuh dari
sepasang manusia yang bertengkar hebat, tiap hari tiada henti.
"HEH! MAUMU APA? PISAH?
YAUDAH DARI DULU AJA KITA GAK USAH NIKAH!"
"LAKI-LAKI KAYAK KAMU GAK
PANTES BUAT DISINI!"
"ANAK UDAH ADA SATU, UDAH
BESAR! KAMU MAU NGURUS SENDIRIAN?!
"ITU ANAK KAMU!"
"BUKAN, AKU GAK PUNYA
ANAK!"
Percakapan yang sangat familiar untuk
seorang anak yang sedang menutup telinganya dengan bantal. Dia Langit,
Laki-laki berumur 17 tahun yang harus menerima kenyataan bahwa dirinya sedang
hidup di dalam lingkaran penderitaan. Bukan lagi, bahkan mungkin hidup di dalam
tabung gangguan mental.
Langit mengambil nafasnya dalam
dan menghembuskan nafasnya dengan sedikit demi sedikit. Bukan karena ada
permasalahan organ pernafasan, tapi setidaknya ... dia sedang menahan diri
untuk tidak meluapkan emosi.
Menjadi anak yang tidak diakui,
tidak diinginkan, diacuhkan, tidak dianggap, dan ... bahkan ditelantarkan
adalah bukan keinginannya. Tapi, apa daya jika takdir telah memaksanya masuk
dalam arena kehidupan yang memilukan itu. Siapapun tidak ada yang menginginkan
hidupnya berada di dalam situasi seperti itu.
"YAUDAH PERGI AJA SANA
SAMA SIMPENAN KAMU!"
"SIMPENAN APA? AKU GAK
PUNYA SIMPENAN APAPUN, KAMU HARUS TAU!!!"
"BOHONG!!!"
Suara tamparan keras menggema
di seluruh penjuru ruangan yang cukup besar itu. Hidup di dalam keluarga yang
sangat berkecukupan pun tidak menjanjikan akan hidup layaknya sebagai sebuah
keluarga. Yang dialami oleh Langit bahkan jauh dari kata harmonis.
Langit bangkit, mengambil jaket
yang tergantung di dinding, membuka pintu kamarnya dan berjalan ke bawah dengan
langkah gontai menuruni anak tangga.
Pemandangan yang sangat tidak
pantas untuk dilihat. Seorang laki-laki paruh baya itu hanya melihat dengan
amarah ke arah wanita paruh baya yang sedang tersungkur di lantai sambil
memegang pipi kanannya. Suasana yang dikelilingi oleh ego dan amarah yang melebihi
batas. Bahkan tidak pantas untuk disebut sebagai pasangan suami istri.
"Pah, mah! Sekalian aja
bakar rumah ini biar gak ada yang namanya keluarga disini."
Suara Langit bergetar. Matanya
menatap lurus ke arah pintu tanpa menatap kedua orang tuanya itu. Dia diam
sejenak, dan ...
PLAKKK
Pipi kirinya mendapat tamparan
keras dari ibunya. Lihatlah! Bahkan berbicara pun dirinya sudah dianggap salah!
Cih, sangat tidak adil!
"Kamu gak pantes ngomong
gitu dihadapan orang tua kamu. SIAPA YANG BIKIN KAMU BISA NGOMONG KAYAK
GITU?!"
Langit menatap Ayahnya dalam,
kemudian berganti menatap ibunya lebih dalam.
"Gak ada, dari dulu
diantara kalian gak ada yang ngajarin Langit tentang sesuatu apapun."
Ayah dan ibunya terlihat
menahan amarah. Tangan mereka sudah siap untuk mendaratkan tamparan keras di
kedua pipi putihnya. Tapi, Langit tidak menghiraukannya. Apapun perkataannya,
apapun peebuatannya, baik itu adalah sesuatu hal yang benar sekalipun, dirinya
akan tetap mendapat perlakuan kasar. Jadi, kekerasan adalah hal biasa yang
sudah diterimanya. Bahkan tradisi tiap hari.
"Kalian cuma ngajarin
Langit tentang bagaimana caranya buat runtuhin sebuah hubungan ... cara membuat
orang lain gak bisa tidur, dan cara membuat orang lain merasa gak layak buat
ada di dunia."
PLAK PLAK
2 tamparan keras sekaligus
mendarat di kedua pipi Langit dari dua orang yang berbeda juga. Langit
tersenyum kecil dan berjalan lurus ke arah pintu.
"Dan dari hal tadi yang
kalian ajarkan, bener-bener gak ada gunanya buat Langit."
Langit menutup pintu, mencoba
menutupi telinganya yang sudah panas karena mendengar panggilan dari orang
tuanya yang menyuruhnya untuk kembali. Mereka hanya menahan dengan ucapan,
bukan dengan tindakan! Tidak ada tanda-tanda kasih sayang untuk Langit, dari
kapanpun ... sampai kapanpun.
Langit pergi dengan langkah
yang tenang, menemui orang-orang yang disebutnya sebagai teman di suatu tempat.
Dan ... jangan lupa memakai topeng untuk menutupi kecemasan dan penderitaan
yang dialaminya.
Dia memasang senyuman terindahnya
dan tawa nyaringnya saat dirinya sudah menempati titik pertemuan dengan
teman-temannya itu. Mencoba menahan segala kekecewaan dan rasa sakit yang baru
saja diterimanya tadi tanpa memperlihatkannya kepada banyak orang.
"Wey Bro! Lama
banget, dari mana lo?"
Langit tersenyum, menerima
salaman dari temannya itu dengan sangat ceria. Bahkan tidak terlihat seperti
manusia yang sedang menderita tanpa bersalah.
"Biasalah, gue kan suka
berkeliling pulau dulu sebelum kesini, ya gak?"
Teman-temannya tertawa riang
mendengar candaannya, termasuk Langit. Langit bahkan terlihat sebagai orang
yang paling bahagia disana. Bahagia dengan pengertian yang lain. Dia bahagia
karena untuk menutupi rasa sakitnya, bukan dalam bahagia dalam arti sebenarnya.
Dia tidak ada tujuan sama sekali untuk memberitahukan apalagi mengumbar-umbar
masalah yang telah mengidapnya. Tidak sama sekali. Bahkan dirinya bertekad
untuk menyimpan rapat-rapat apa yang tengah dialaminya dan tekanan apa yang ada
di dalam hatinya.
Langit terduduk di salah satu
kursi tempatnya berkumpul. Menatap langit dengan sangat sendu dan penuh makna.
Ditemani dengan suara tawa nyaring dari teman-temannya karena candaan Langit
yang selalu ditunggu-tunggu.
Dia bisa saja membohongi semua
orang. Tapi tidak dengan hatinya. Tidak ada yang bisa menahan sendirian beban
yang sedang dialami, masalah yang mencekiknya.
Jika memang benar orang tuanya akan berpisah, Langit sudah menentukan hal apa yang akan ditempuh selanjutnya.
TAMAT
Pengarang: Willan (EL)
0 Komentar
Yuk kita beropini mengenai isi post-nya~